Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Pengantar Kepala Museum Nasional


Museum Nasional sebagai sebuah lembaga studi warisan budaya dan pusat informasi edukatif kultural dan rekreatif, mempunyai kewajiban menyelamatkan dan melestarikan benda warisan budaya bangsa Indonesia. Hingga saat ini koleksi yang dikelola berjumlah 141.899 benda, terdiri atas tujuh jenis koleksi yaitu prasejarah, arkeologi, keramik, numismatik-heraldik, sejarah, etnografi, dan geografi.

Penyelamatan dan pelestarian budaya ini pada hakikatnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat, diinformasikan melalui pameran dan penerbitan-penerbitan katalog, brosur, audio visual juga website. Tujuannya agar masyarakat tahu dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian warisan budaya bangsa.

Mengenai pameran, sistem penataan pameran di gedung lama (Unit A) berdasarkan pada jenis-jenis koleksi, baik berdasarkan keilmuan, bahan, maupun kedaerahan. Misalnya Ruang pameran Prasejarah, Ruang Perunggu, Ruang Tekstil, Ruang Etnografi daerah Sumatera, dan lain-lain. Sedangkan penataan pameran di gedung baru (Unit B atau Gedung Arca) tidak lagi berdasarkan jenis koleksi, melainkan mengarah kepada tema berdasarkan aspek-aspek kebudayaan yang memosisikan manusia sebagai pelaku dalam lingkungan tempat tinggalnya. Tema pameran yang berjudul “Keanekaragaman Budaya dalam Kesatuan” ini terdiri atas beberapa subtema antara lain [1] Manusia dan Lingkungan, [2] Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekonomi, [3] Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, dan [4] Khasanah dan Keramik.

Gedung Unit C direncanakan akan dibangun untuk memperluas tata pameran yang sudah ada dan untuk melengkapi subtema terakhir yaitu [5] Religi dan Kesenian. Hanya doa restu dan dukungan dari berbagai pihak (pemerhati museum, akademisi, pengunjung) yang kami harapkan agar pembangunan gedung selanjutnya dapat terlaksana. Terima kasih.

Kepala Museum Nasional

Dra. Retno Sulistianingsih Sitowati, MM

Sejarah dan Informasi Museum Nasional





Sejarah Museum Nasional

Museum Nasional berawal dari pendirian suatu himpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG), oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 24 April 1778. Pada masa itu di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the Age of Enlightenment) yang ditandai perkembangan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. Pada 1752 di Haarlem, Belanda berdiri De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Perkumpulan Ilmiah Belanda). Hal ini mendorong orang-orang Belanda di Batavia (Indonesia) untuk mendirikan organisasi sejenis.

BG merupakan lembaga independen, untuk tujuan memajukan penetitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi, dan sejarah. Selain itu BG menerbitkan berbagai hasil penelitian. Lembaga ini mempunyai semboyan "Ten Nutte van het Algemeen" (Untuk Kepentingan Masyarakat Umum).

Salah seorang pendiri lembaga ini, JCM Radermacher, menyumbangkan sebuah rumah miliknya di Jalan Kalibesar, suatu kawasan perdagangan di Jakarta-Kota. Dia juga menyumbangkan sejumlah koleksi benda budaya dan buku yang amat berguna. Sumbangan Radermacher inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya museum dan perpustakaan.



Selama masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816), Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles menjadi direktur perkumpulan ini. Oleh karena rumah di Kalibesar sudah penuh dengan koleksi, Raffles memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dulu disebut gedung "Societeit de Harmonie"). Bangunan ini berlokasi di Jalan Majapahit nomor 3. Sekarang di tempat ini berdiri kompleks gedung Sekretariat Negara, di dekat Istana Kepresidenan.

Jumlah koleksi milik BG terus neningkat hingga museum di Jalan Majapahit tidak dapat lagi menampung koleksinya. Pada 1862 pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membangun sebuah gedung museum baru di lokasi yang sekarang, yaitu Jalan Medan Merdeka Barat No. 12 (dulu disebut Koningsplein West). Tanahnya meliputi area yang kemudian di atasnya dibangun gedung Rechst Hogeschool atau "Sekolah Tinggi Hukum" (pernah dipakai untuk markas Kenpetai di masa pendudukan Jepang, sekarang Kementerian Pertahanan dan Keamanan). Gedung museum ini dibuka untuk umum pada 1868.

Museum ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya penduduk Jakarta. Mereka menyebutnya "Gedung Gajah" atau "Museum Gajah" karena di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada 1871. Kadang kala disebut juga "Gedung Arca" karena di dalam gedung memang banyak tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai periode sejarah.

Pada 1923 perkumpulan ini memperoleh gelar "koninklijk" karena jasanya dalam bidang ilmiah dan proyek pemerintah sehingga lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG). Pada 26 Januari 1950 KBG diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi waktu itu, sebagaimana tercermin dalam semboyan barunya: "memajukan ilmu-ilmu kebudayaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kepulauan Indonesia dan negeri-negeri sekitarnya".

Mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia maka pada 17 September 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi Museum Pusat. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.092/0/1979 tertanggal 28 Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional.

Kini Museum Nasional bernaung di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Museum Nasional mempunyai visi yang mengacu kepada visi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yaitu "Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antarbangsa".


Alamat

Jalan Medan Merdeka Barat 12, Jakarta 10110
Telepon +62 21 386-8172

Jam Buka
Selasa - Kamis08.30 - 14.30
Jumat08.30 - 11.30
Sabtu08.30 - 13.30
Minggu08.30 - 14.30
Senin & Hari Libur NasionalTutup


Karcis Masuk
DewasaRp 5000 (Perorangan)
Rp 3000 (Rombongan)
Anak-anakRp 2000 (Perorangan)
Rp 1000 (Rombongan)
TurisRp 10.000


Koleksi Museum Nasional



Peta Lokasi Museum Nasional

Sabtu, 27 Juni 2009

Museum Nasional Bisa Jadi Simbol Pusat Kebudayaan


JAKARTA-MI: Museum Nasional Jakarta yang memiliki 141.000 benda koleksi bersejarah siap menjadi 'icon' (simbol) pusat kebudayaan nasional di Indonesia.

"Museum Nasional bisa menjadi pusat kebudayaan Indonesia karena memiliki ruang publik yang dapat mencerminkan indentitas diri," kata Humas Museum Nasional Ferlian Putra di Jakarta, Jumat (19/6).

Ia megatakan, arah pengembangan Museum Nasional sebagai salah satu ikon pusat kebudayaan nasional yaitu museum tidak hanya sebagai tempat untuk mengumpulkan, merawat dan melestarikan benda cagar budaya.

Tetapi museum juga sebagai institusi yang melayani masyarakat yang sifatnya rekreasi dan edukatif serta sebagai pendukung citra budaya bangsa, tempat tujuan wisata dan pembelajaran tentang masalah kebudayaan.

Untuk mempertahankan ikon tersebut tentunya Museum Nasional selalu berbenah diri baik masalah manajemen maupun penyajian koleksi museum.

Salah satu tugas pokok museum adalah menyelenggarakan penyajian pameran karena pameran adalah salah satu cara untuk mengomunikasikan suatu gagasan yang berhubungan dengan koleksi kepada masyarakat.

Jumlah pengunjung Museum Nasional tercatat pada 2008 sebanyak 158.739 orang yang terdiri atas wisatawan manca negara 14.547 orang, wisatawan nusantara 41.281 orang, anak sekolah 65.880 orang dan sisanya umum.

Museum Nasional yang berdiri pada 24 April 1778, hingga kini terus berbenah untuk menjadi ikon pusat kebudayaan nasional. (Ant/OL-7)

(Media Indonesia, Jumat, 19 Juni 2009)

Rabu, 24 Juni 2009

Koleksi Sejarah


Koleksi Sejarah Museum Nasional merupakan benda-benda yang mengandung nilai sejarah Indonesia dan benda-benda peninggalan dari masa pendudukan bangsa Eropa di Indonesia, antara abad ke-16 Masehi hingga abad ke-19 Masehi. Koleksi Sejarah meliputi benda-benda berupa perabot, meriam, gelas, keramik, lampu hias, gerabah, prasasti dan lain-lain. Benda-benda tersebut umumnya dibuat di Indonesia dan sebagian dibuat di luar negeri, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan Jepang.

Penyekat Ruang

Kayu;
Jakarta;
Akhir abad ke 17;
Pj. 221 cm; Tg. 197 cm; Lb. 82 cm;
No. Inv. 22146/45.

Ukiran panel kayu yang rumit ini mengingatkan pada gaya ukiran jaman Louis XIV dan diperkirakan telah dibuat pada akhir abad ke-17. Digunakan sebagai penyekat di dalam ruang kantor pemerintah Hindia-Belanda, namun obyek yang sama juga sering dijumpai di ruangan kapal.

Pelana Kuda

Kulit, kain dan besi;
Yogyakarta;
Abad ke 19;
Pj. 80 cm; Lb. 68 cm;
No.Inv. 271.

Pelana kuda ini dulu adalah milik Pangeran Diponegoro, pernah digunakan dalam perang melawan pemerintah Hindia-Belanda antara tahun 1825-1830.

Prasasti

Batu;
Lontor, Maluku;
Abad ke-16;
Pj. ± 200 cm; Lb. ± 40 cm;
No.Inv. 18430.

Awalnya prasasti batu ini adalah sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Portugis, berangka tahun 1551. Kemudian, pada jaman Kompeni Belanda (VOC), di bagian atas prasasti berbahasa Portugis dipahatkan tulisan dalam bahasa Belanda. Isinya menyatakan bahwa batu ini adalah sebuah tanda batas yang didirikan atas perintah Jan van der Broeke, seorang pejabat Kompeni Belanda, dalam tahun 1705.

Sabtu, 20 Juni 2009

Pendanaan Museum Masih Jadi Kendala


Bandung, Kompas - Museum yang dikelola swasta sering kali terbentur pendanaan. Tidak adanya sumber dana rutin membuat pengelola museum swasta harus kreatif mengandalkan usaha sendiri.

Bambang Subarnas, pengajar Seni Rupa dan Desain Universitas Pasundan sekaligus kurator Museum Barli Bandung, Jumat (13/2), mengatakan, kondisi ini menyebabkan sejumlah museum swasta menjual koleksinya.

”Di negara maju, pemerintah ikut membantu museum, setidaknya dengan mengurangi bahkan membebaskan pajak karena bersifat pendidikan,” ujarnya.

Beberapa museum swasta di Jabar antara lain Museum Barli, Museum Popo Iskandar, Museum Selasar Sunaryo, dan Museum Serambi Pirous.

Menurut Bambang, kesan museum di Jawa Barat sebagai tempat menyimpan benda masa lalu yang tak berguna masih terjadi. Hal ini jauh dari fungsi museum sebagai sarana pendidikan dan pelestarian benda sejarah. ”Pemerintah daerah juga tidak berupaya memberdayakan museum,” kata Subarnas.

Pengelola Museum Barli, Sanga Priagana, mengatakan, usaha membuat museum menjadi tempat yang diminati masyarakat terus dilakukan antara lain dengan melakukan sejumlah terobosan.

Menurut Nunun Haryati, staf Seksi Pemugaran Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat, permasalahan dana menjadi masalah terbesar dalam pengelolaan museum. Idealnya, ada donor yang menyumbang biaya operasional museum. (CHE)

(Kompas, Sabtu, 14 Februari 2009)

Kamis, 18 Juni 2009

Uneg-uneg Masyarakat di Facebook


Ktk kmrn lht pmrn Treasures of Sumatra d Museum Nasional lgsg sedih wkt byr tiket Rp750. Hrg yg tak bernilai. museum pun sepi. Bandingkan dgn tiket msk tropen museum di bld at louvre d prcs. Selain antri jg hrs byr sktr 10euro at 150rb an. Apa harga tiket itu jd penentu? Utk menaikkan citra tiket hrs dibuat mahal spy museum jd tmpt yg bermartabat en terhormat. sesuai dgn koleksi yg tak ternilai harganya

Alhamdulillah Wieke anda msh care thdp museum apabisa dgn jalur kemana utk spy dept. terkait peduli. Tks anda peduli dgn museum ini.

Beli sayur di tk. sayur aja kalau ga 500 (secuil) ya 1000. Ini 750? Apakah ada kembaliannya 250? Aduuh, lagi2 Ike bikin terharu biru para pembaca.
Tapi bener Ke, gimana bangsa kita mau menghargai museum kalau pengelola museum (atau pemerintahkah?) sendiri menganggap murah museum. Salah ah pendapat kalau tiket dijual murah untuk menarik pengunjung. Pengunjung yang mana?

Wieke, pada dasarnya memang susah untuk menarik minat masuk museum.Disini untungnya subsidinya besar sekali, dan sdh komersiil & membudaya
Tapi kampanye cinta museum masih tetap aktif,misalnyai Louvre sp umur 18 th malah gratis, maksudnya juga untuk membangunkan minat anak2 spy bisa menghargai museum. British museum yg di London malah gratis, ini ... Read Morekoleksinya wah banget.Kl harga sih jangan dibandingkan, standardnya lain. Aku kira hrs dimulai di sekolah, disini (Eropa)setiap sekolah mulai SD, malah ada yg mulai dr TK suka dibawa ke museum, diajarin spy mencintai budaya.
Anak2ku kl diajak kemuseum kayak mau dibawa kemana, mesti barter sama shopping.
Akh ya, semua yg sehat memang susah dicerna...

pedulikan sejak dini tua itu bukan usang,..kt slalu priatin sejak puluhan lalu saat datang k musium,..mungkin kudunya musium dalamnya ada mall,..h..h

di musium hrs ada kegiatan interactive,jd org tdk dtg utk liat benda mati thok

Ike ... aku baru baca ini ... sedih sekali ya ... bener2 spt ayam dan telur ... Di London semua museum gratis ... kecuali utk pameran khusus ... Lagi2 semuanya larinya ke dana ... ga ada dana ga bisa buat museum jd bagus & menarik ... tp selain itu jg perlu pendidikan utk menghargai & mencintai budaya. Anak2ku wkt kecil kenyang deh dibawa antri di museum2 di Eropa ... ngeluh krn antreannya panjang sekali ... bosen mrk ... tapi mulai kelihatan ada hasilnya tuh ...

(18 Juni 2009)

Rabu, 10 Juni 2009

Beberapa Koleksi Pameran "Treasures of Sumatra"


Beberapa koleksi berikut terdapat dalam materi pameran "Treasures of Sumatra".

Wadah Bertutup

Kayu, lak
Palembang, Sumatera Selatan
D 12,5 cm, T 5,5 cm
RijksMuseum voor Volkenkunde, No. Inv. 113-3

Wadah kayu bertutup berbentuk tabung segi delapan berwarna merah, dikerjakan dengan teknik lak dan dihias dengan berbagai motif warna emas. Tutup bagian atas dihias dengan motif bunga dan kupu-kupu, sedangkan di sekeliling tabung dihias dengan motif bunga dan model rumah khas Cina, menyerupai pagoda. Kemungkinan digunakan sebagai kotak penyimpan perhiasan.


Kalung

Perak
Padang, Sumatera Barat
Pj 56 cm
RijksMuseum voor Volkenkunde, No. Inv. 300-488

Koleksi ini pernah dipamerkan selama "Pameran Dunia" di Paris tahun 1878. Kalung berbentuk salib, dibuat dari perak dengan teknik filigran. Kalung ini kemungkinan dipesan oleh orang Eropa yang tinggal di Sumatera Barat, mengingat orang Minang umumnya muslim.


Paidon

Emas
Riau Lingga, Kepulauan Riau
T 11,7 cm, D 14,9 cm
Museum Nasional Indonesia, No. Inv. 17149/E.7

Badan dan bibir terbuka lebar. Bermotif ukiran cembung dan cekung. Merupakan bagian dari seperangkat wadah sirih yang berfungsi untuk menampung ludah sirih. Motifnya mirip dengan keris dari Kesultanan Deli dan cupu dari Kesultanan Palembang yang menggunakan warna merah, suatu ciri khas kerajinan yang dipengaruhi oleh budaya Bugis. Pengaruh budaya Bugis dari yang Dipertuan Muda Bugis di Riau Lingga cukup kuat.

Sabtu, 06 Juni 2009

Museum-museum "Tragedi Umat Manusia"


Oleh: Trigangga

Semua orang tentu setuju bahwa museum seyogyanya menjadi tempat yang menyenangkan (rekreatif) sekaligus tempat pembelajaran (edukatif). Beberapa museum ada yang lebih menonjol fungsi rekreatifnya daripada fungsi edukatifnya, begitu juga sebaliknya. Jika museum lebih menonjol fungsi edukatifnya, biasanya dikaitkan dengan suatu kenangan atau peringatan (memorial). Tujuannya adalah untuk merenungkan kembali apa yang telah diperbuat oleh pendahulu-pendahulu kita, misalnya jika mengandung nilai-nilai kepahlawanan yang positif, perlu kita teladani. Namun, jika mengandung nilai-nilai yang negatif diupayakan tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

Di antara museum-museum yang bernuansa memorial itu kebanyakan menampilkan tragedi umat manusia, baik disebabkan oleh alam (bencana alam) maupun ulah manusia sendiri (bencana perang). Masalahnya, apakah semua memorial museum itu cocok dikunjungi untuk semua umur? Karena beberapa museum ada yang menampilkan adegan kekerasan (violence) yang belum pantas didengar atau disaksikan anak-anak sekolah. Bahkan tidak semua orang dewasa sanggup mendengar dan menyaksikan kengerian yang digambarkan dalam pameran tersebut.

Berikut ini adalah beberapa memorial museum yang menggambarkan sisi gelap kemanusiaan yang mengakibatkan tragedi nasional/internasional. Dua di antaranya dipandang sebagai genocide museum (museum pemusnahan bangsa).


1. Auschwitz-Birkenau State Museum


Sebuah museum yang berlokasi di Polandia bagian selatan, yaitu Oświęcim (dalam bahasa Jerman: Auschwitz), 286 kilometer dari ibukota Polandia, Warsawa. Ketika Polandia diduduki pasukan Nazi Jerman September 1939, Oświęcim digabung ke dalam wilayah Jerman dan diberi nama Auschwitz.

Museum ini sebenarnya adalah tempat konsentrasi dan pembasmian tawanan Nazi Jerman (German Nazi Concentration and Extermination Camp) yang terdiri dari tiga kompleks utama: Auschwitz I adalah pusat administrasi, Auschwitz II (Birkenau) adalah tempat pembasmian tawanan, dan Auschwitz III tempat kerja paksa. Dua tempat yang disebut terdahulu telah masuk Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) sejak 1979.

Yang paling banyak mendapat perhatian adalah Auschwitz-Birkenau ini karena tempat tersebut menjadi tempat pembantaian orang Yahudi ± 1,1 juta orang, warga Polandia 75.000 orang, dan orang gypsie Roma 19.000 orang. Sebagian besar dari mereka tewas mengenaskan, dibunuh di dalam ruang gas beracun, sisanya tewas karena dibiarkan kelaparan, sakit yang tidak diobati, kerja paksa, dan bahan eksperimen medis. Mayat-mayat mereka kemudian dibawa ke ruang krematorium untuk diperabukan atau dikubur secara masal.


2. Tuol Sleng-Genocide Museum

Museum ini dulunya adalah gedung sekolah SMU Tuol Svay Prey di Phnom Penh, mengabadikan nama leluhur raja Kamboja, Norodom Sihanouk, berupa kompleks lima bangunan yang beralih fungsi menjadi penjara dan pusat interogasi tahanan dalam tahun 1975. Ketika Khmer Merah di bawah rezim Pol Pot berkuasa (1975 – 1979) penjara itu dikenal dengan nama Tuol Sleng “Security Prison 21 (S-21)” dengan penjagaan yang ketat. Ruang-ruang kelas diubah menjadi sel-sel penjara yang sempit dan ruang-ruang penyiksaan.

Rezim Pol Pot dituding telah melakukan genocide terhadap rakyatnya sendiri. Jutaan rakyat Kamboja bersama warga asing mati dengan sia-sia. Mereka dibunuh tanpa alasan yang jelas; hanya karena seseorang dituduh berkhianat, yang belum tentu benar, seluruh keluarga ikut menanggung akibatnya.

Dari 1975 hingga 1979 diperkirakan 17.000 orang dipenjarakan di Tuol Sleng. Para tahanan diambil dari seluruh negeri, biasanya anggota tentara Khmer Merah rezim sebelumnya yang dituduh berkhianat atau politisi komunis tingkat tinggi yang membahayakan kedudukan rezim Pol Pot. Di penjara Tuol Sleng ini para tahanan diinterogasi, disiksa secara keji, dan akhirnya mereka bersama keluarganya digiring ke ladang pembantaian Choeung Ek (± 15 km dari Phnom Penh) untuk dieksekusi. Dalam mengeksekusi para tahanan, tentara Khmer Merah jarang menggunakan peluru, karena sebutir peluru teramat mahal untuk ditembakkan di tubuh korban. Sebagai gantinya tentara Khmer Merah menggunakan besi batangan yang dihantamkan berkali-kali, menghunjamkan pacul, beliung, dan menebaskan parang ke tubuh korban.

Begitu pengunjung memasuki area museum ini “bau kematian” sudah terasa; lemari pajang yang berisi penuh tengkorak korban pembantaian, ruang tempat penyiksaan dengan dinding-dinding yang kusam, sudah tentu dengan foto-foto para tahanan yang disiksa. Bahkan ada ruang pameran yang menggambarkan peta wilayah Kamboja, tetapi disusun dari ratusan tengkorak korban pembantaian.


3. War Remnants Museum

Museum Sisa-sisa Perang (War Remnants Museum) ini didirikan tahun 1975 di kota Ho Chi Minh (dulu Saigon), Vietnam. Pernah dikenal sebagai Museum Kejahatan Perang Cina dan Amerika (Museum of Chinese and American War Crimes), tetapi kemudian diubah namanya menjadi War Remnants Museum untuk menghindari kecaman turis-turis asing, Cina dan Amerika, juga demi normalisasi hubungan diplomatik antara Vietnam dan Amerika Serikat.

Museum ini menampilkan kekejaman perang di wilayah Indocina, yang menjadi jajahan Perancis. Begitu Perancis hengkang dari Indocina, tentara Amerika diterjunkan ke wilayah tersebut pada 1960-an. Periode tersebut adalah era Perang Dingin (Cold War) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dengan alasan ingin membendung pengaruh komunis dari utara, pasukan Amerika Serikat diterjunkan ke wilayah Vietnam. Tentara Vietnam Utara atau Viet Cong yang di-backing Uni Soviet merangsek ke wilayah Vietnam Selatan yang non-komunis dan didukung oleh pasukan Amerika Serikat. Melalui taktik perang gerilya yang membuat gabungan pasukan Amerika Serikat dan Vietnam Selatan frustrasi, akhirnya pasukan Viet Cong berhasil merebut kota Saigon. Puncaknya adalah pasukan Amerika Serikat hengkang dari Saigon pada 30 April 1975, dan negara Vietnam yang komunis terbentuk.

Selama berkecamuknya Perang Vietnam, pasukan Amerika dituduh mempraktekkan “perang kotor”, antara lain menggunakan bom kimia, napalm, yang berdampak sangat luas, karena banyak penduduk sipil menjadi korban.

Materi pameran terdiri dari rongsokan mesin-mesin perang seperti tank, kendaraan lapis baja, pesawat bomber, senjata-senjata artileri (meriam, howitzer, bazooka), ranjau, dan sebagainya. Didukung oleh foto-foto hasil jepretan wartawan perang, bahkan beberapa di antaranya memenangkan hadiah Pulitzer, contohnya foto beberapa anak penduduk sipil Vietnam berlarian sambil menangis, dengan tubuh telanjang karena terbakar oleh bom napalm.

Kekalahan di medan Perang Vietnam tampaknya sulit diterima para veteran perang Amerika. Selain menuai protes dari masyarakatnya yang anti perang juga perang menimbulkan trauma yang mendalam. Untuk menghibur diri para produser film Hollywood menciptakan “jagoan-jagoan perang” dalam film Rambo, Missing in Action, dan lain-lain, yang mengisahkan seorang veteran perang Amerika ingin membebaskan rekan-rekannya yang menjadi tawanan pasukan Viet Cong. Akhir film dapat ditebak, sang jagoan ngamuk lalu mengobrak-abrik sarang pasukan Viet Cong dengan senjata modern yang mungkin belum ada pada masa itu, dan rekan-rekan yang ditawan berhasil dibebaskan.

Namun heran bin takjub, museum-museum bernuansa horor itu tetap menarik perhatian pengunjung, terutama turis-turis mancanegara. Museum di Auschwitz contohnya, mampu menarik perhatian rata-rata 700.000 pengunjung setiap tahunnya. Apa sebabnya? Mungkin kekerasan dan kekejaman yang merupakan bagian dari basic instinct manusia tetap menjadi cerita yang menarik untuk didengar dan dilihat. Naluri dasar yang negatif itu akan terus ada selama iblis tidak bosan-bosannya menyuruh manusia berbuat batil atau dosa.

Tuol Sleng-Genocide Museum (foto John L Silva)

Ruang penyiksaan dengan tempat tidur dibelit kawat-kawat listrik

Peredaran Mata Uang di Kota Kerajaan Majapahit


Oleh: Trigangga


Kehadiran mata uang khususnya di Nusantara (Indonesia) adalah akibat dari aktivitas perdagangan yang semakin kompleks, yang mana diperlukan alat tukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Letak geografis kepulauan Indonesia yang strategis menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan dunia barat dan timur. Pedagang-pedagang dari berbagai bangsa, terutama dari India dan Cina, dalam pelayarannya terkadang harus singgah di pelabuhan karena menunggu badai reda misalnya, atau memang menjalin hubungan dagang dengan penguasa-penguasa di berbagai daerah di Indonesia.

Bukti bahwa kepulauan Indonesia pernah dikunjungi pedagang-pedagang asing dapat diketahui dari sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan kronik asing, juga tinggalan-tinggalan arkeologis berupa mata uang. Di dalam prasasti Telaga Batu, salah satu peninggalan kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7, dijumpai istilah dalam bahasa Sansekerta, vaņiyāga yang artinya ‘saudagar’ atau ‘pedagang’. Inilah prasasti pertama yang menyebutkan kata ‘pedagang’ di Indonesia. Istilah vaņiyāga ini kemudian muncul dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna menjadi banyaga, dan diadopsi menjadi kata bahasa Indonesia, berniaga, padanan kata dari ‘berdagang’.

Keterangan dari berbagai prasasti memberi petunjuk bahwa ada kelompok orang asing yang mungkin berprofesi pedagang dan dikenai kewajiban membayar pajak, disebut sebagai wargga kilalān. Mereka adalah orang-orang India yang berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa seperti Kalingga (kling), Arya, Drawida, Karņataka, Pandya-Chera (pandikira), juga dari Vietnam (campa), Kamboja (kmir) dan Srilangka (singhala). Kehadiran orang-orang Cina belum disebut di dalam prasasti-prasasti abad ke-10--12, namun kronik Cina sendiri telah memberitakan kehadiran seorang musafir Cina bernama Fa-hsien yang pernah singgah di Jawa pada tahun 414.

Kronik-kronik Cina merinci komoditi ekspor dari kepulauan Indonesia, khususnya Jawa, yang membuat pedagang-pedagang asing datang antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, gaharu, kapur barus, kapas, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Adapun barang-barang impor untuk konsumsi di Jawa yang utama adalah sutera, kain brokat warna-warni dan keramik. Sebagai contoh, di dalam prasasti ada disebutkan satu barang yang mungkin sekali diimpor yaitu wdihan buat kling atau kain buatan negeri Kalingga (India).

Pedagang-pedagang asing tersebut ketika mengadakan transaksi dagang dengan penduduk lokal menggunakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing. Akibatnya banyak mata uang asing dari berbagai negara beredar di kepulauan Indonesia. Hubungan dagang yang intensif dengan India dan Cina lambat laun mendatangkan inspirasi bagi penduduk lokal atau penguasa suatu kerajaan di Jawa untuk membuat mata uang sendiri.

Prasasti-prasasti biasanya menyebut satuan mata uang emas dan perak yang beradar di Jawa mulai dari ukuran yang terbesar sampai terkecil dalam bentuk singkatan. Satuan mata uang emas dari yang terbesar hingga terkecil adalah kāti, suwarņa, māsa, kupang, dan sātak. Sedangkan satuan mata uang perak adalah kāti, dhāraņa, māsa, dan kupang. Semua satuan mata uang tersebut menunjukkan ukuran berat benda. Ini dapat diketahui dari inskripsi-inskripsi singkat pada benda-benda berupa wadah emas yang ditemukan di desa Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah. Pada bagian dasar sebuah mangkuk besar contohnya, tertera tulisan tatur brat su 14 mā 15 sā 3 dalam huruf Jawa Kuna, artinya “emas berat 14 suwarņa 15 māsa 3 sātak”. Jadi jelaslah bahwa mata uang emas dan perak itu dinilai berdasarkan berat benda (nilai intrinsik). Segala transaksi perdagangan, khususnya barang yang bernilai besar, dibayar dengan uang emas atau perak dengan berat yang telah ditentukan.

Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuna. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.

Uang “Ma” perak dengan tulisan Nagari dan uang “Ma” emas dengan tulisan Jawa Kuna (kol. Museum Nasional)

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segiempat [gambar 2]. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.

Potongan-potongan logam emas yang digunakan sebagai alat tukar (kol. Museum Nasional)

Mata uang dengan satuan-satuan tersebut di atas, terutama māsa dan tahil, tampaknya terus dipakai hingga awal munculnya kerajaan Majapahit. Di dalam prasasti Tuhanyaru tahun 1245 Saka (1323 M) uang “Ma” perak masih disebutkan sebagai benda sesaji bersama pakaian. Kronik Cina dari zaman Dinasti Ming (1368 – 1643) mencatat bahwa uang tahil emas masih digunakan di Jawa. Diberitakan bahwa pada waktu terjadi perang saudara di kerajaan Majapahit tahun 1405, sekitar 170 orang Cina ikut terbunuh dalam kerusuhan itu. Meskipun raja Majapahit kemudian meminta maaf atas kejadian itu, kaisar Cina tetap menjatuhkan hukuman denda sebesar 60.000 thail (=tahil) emas.

Satu hal yang patut diketahui bahwa dalam periode Majapahit mata uang emas dan perak tidak begitu sering lagi disebutkan di dalam prasasti dan naskah. Sebagai gantinya adalah mata uang tembaga, timah dan kuningan yang memang banyak digunakan pada masa itu. Yang terakhir ini dapat diidentifikasikan sebagai uang lokal Majapahit dan kepeng Cina.

Pada abad ke-14 semakin banyak orang Cina yang datang ke daerah-daerah yang menjadi wilayah kerajaan Majapahit dengan tujuan berdagang. Di antara mereka ada yang tinggal menetap dalam jangka waktu cukup lama. Banyaknya orang Cina yang bermukim di wilayah kerajaan Majapahit memunculkan profesi baru yang dikenal dengan istilah juru cina. Istilah ini kerap muncul di dalam prasasti-prasasti Majapahit yang memuat daftar para mangilala drawya haji, yaitu pegawai kerajaan yang tinggal di dalam lingkungan tembok kota. Tugas juru cina mungkin berurusan dengan orang-orang Cina yang datang dan menetap di ibukota kerajaan Majapahit atau di berbagai tempat lain di wilayah kerajaan Majapahit di Jawa. Di antara mereka tentunya ada yang bertugas sebagai penerjemah jika ada utusan-utusan Cina datang membawa pesan dari kaisar. Bukan tidak mungkin kalau juru cina ini dijabat oleh orang Cina yang sudah lama menetap di sini dan diminta bantuannya sebagai penerjemah bagi raja Majapahit.

Relief pedagang pada sebuah panel relief candi Tigawangi, Kediri, Jawa Timur (abad ke-14)

Di dalam buku Ying-yai Shêng-lan atau “Laporan Umum tentang Pantai-pantai Lautan” yang diterbitkan pada 1416 oleh Ma-Huan, dikatakan bahwa orang-orang Cina yang tinggal di kerajaan Majapahit berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’üan-chu. Mereka kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik menjadi orang kaya di sana. Tidak sedikit penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Dalam transaksi perdagangan penduduk setempat menggunakan uang tembaga (kepeng) Cina dari berbagai dinasti. Pernyataan terakhir ini mengindikasikan bahwa penduduk pribumi tidak mengerti tulisan Cina yang tertera pada kepeng itu sehingga mau menerima uang Cina dari dinasti mana pun (Dinasti Tang, Song, Yuan) yang mungkin tidak berlaku lagi di negeri asalnya.

Penggunaan kepeng Cina atau uang lokal Majapahit ditunjukkan dalam istilah pisis (Jawa Kuna) yang artinya ‘uang’. Istilah ini pertama kali muncul di dalam prasasti Bendosari (± 1350 M) dari masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, isinya merupakan surat keputusan pengadilan tentang sengketa tanah (jayasong). Pihak Aki Santana Mapanji Sarana bersengketa dengan pihak Sang Apanji Anawung Harsa mengenai status tanah di berbagai tempat seluas 67 lirih. Sang Apanji Anawung Harsa berargumentasi bahwa pihaknyalah yang punya hak atas semua tanah itu karena dahulu, tahun 919 Saka (997 M), kakek buyutnya telah menggadaikan kepada kakek buyut Aki Santana Mapanji Sarana seharga 2½ takar perak, yaitu pada waktu penduduk pulau Jawa tidak menggunakan uang kepeng (duk punang bhumi jawa tan pagagaman pisis). Pernyataan ini menunjukkan bahwa di pulau Jawa, semasa hidup kakek buyut Sang Apanji Anawung Harsa, uang perak masih umum digunakan sebagai alat pembayaran. Ini seperti yang dinyatakan dalam kronik Cina dari zaman Dinasti Song bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan perak sebagai mata uang. Kemudian, di masa hidup Sang Apanji Anawung Harsa uang kepeng sudah umum digunakan.

Di Jawa Timur banyak sekali ditemukan uang kepeng Cina, bahkan dapat dikatakan bahwa kepeng Cina ditemukan di setiap kabupaten di Jawa Timur. Di kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan terdapat koleksi uang kepeng Cina sekitar 40.000 keping. Kepeng Cina tersebut berasal dari berbagai dinasti terutama Dinasti Song dan Ming. Banyaknya kepeng Cina yang beredar pada masa Majapahit diperkuat oleh temuan berbagai jenis celengan terakota di daerah Trowulan, menandakan bahwa tradisi menabung telah dikenal pada masa Majapahit. Di samping uang kepeng Cina, di Museum Trowulan terdapat koleksi uang lokal Majapahit yang disebut gobog dan uang perak. Uang gobog inilah yang mungkin merupakan bentuk tiruan dari kepeng Cina, karena dalam beberapa hal dari bentuk dan hiasan mirip dengan kepeng Cina, walau figur yang digambarkan berciri lokal, mirip wayang kulit.

Uang Gobog

Jika satuan mata uang terdahulu seperti suwarņa, māsa, kupang dan lain-lain mengacu kepada ukuran berat atau kualitas, maka pada masa Majapahit ini satuan mata uang mengacu kepada jumlah atau kuantitas. Di dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah hukum dijumpai berbagai istilah yang menyatakan jumlah uang, antara lain sātak (200 keping), sātak sawě (250 keping), samas (400 keping), domas (400 keping), rong tali (2000 keping), patang tali (4000 keping), salaksa (10.000 keping), sakěţi (100.000 keping), sakěţi rong laksa (120.000 keping), sakěţi něm laksa (160.000 keping), dan rong kěţi (200.000 keping).

Akhirnya, ada beberapa prasasti dari masa Majapahit yang berkaitan dengan penggunaan kepeng ini. Salah satu di antaranya adalah prasasti Paguhan, ditulis pada tiga lempeng tembaga, tulisannya amat besar dan isinya cukup singkat. Terjemahan bebas dari prasasti itu adalah sebagai berikut: pada tanggal 13 paro terang bulan Asuji tahun 1338 Saka (= 4 September 1416) Paduka Yang Mulia dari Talonan menyetujui pembelian (?) untuk kepentingan Baţara di Paguhan yang meninggal di Pramalaya, diterima oleh para angucap gawe (nama jabatan) di Gědong Dingdiwa. Mereka adalah Patih Sěmut, Sang Arya Pagěh, Sang Arya Guna, Patih dari Paguhan, Patih Sirěg, dan Patih Tembeng, menerima sejumlah uang sebesar 200.000 (dua ratus ribu) kepeng.

Apa yang terbayang dari isi prasasti itu adalah suatu serah terima pembelian (waruk) yang sayang tidak disebutkan objeknya, mungkin sebidang tanah. Jika yang dimaksud adalah sebidang tanah, mungkin tanah itu hendak dijadikan sima, kemudian hasilnya dipersembahkan untuk dewa atau arwah leluhur yang dipuja di bangunan suci. Yang menarik perhatian dari prasasti ini adalah jumlah uang yang diterima keenam pejabat tersebut sebanyak 200.000 keping, ditulis dengan angka dan huruf (terbilang) sampai dua kali. Cara penulisan yang demikian mirip dengan cara pengisian selembar kuitansi pada masa sekarang. Kemudian, pada akhir “kuitansi” tersebut tertera hari, tanggal, bulan dan nama (tertanda): Sa[ng] Kawasa.

Jumlah uang 200.000 kepeng adalah jumlah terbesar yang pernah disebutkan dalam prasasti maupun naskah. Dapat dibayangkan uang sebanyak itu ditaruh ke dalam beberapa buah guci, sedikitnya dibutuhkan 10 buah guci ukuran sedang (ukuran ±40 cm). Sering terdengar berita tentang temuan mata uang dalam guci, baik ditemukan dalam keadaan utuh maupun sudah pecah berantakan.

Rabu, 03 Juni 2009

Khasanah Emas Arkeologi


Koleksi khasanah emas arkeologi mencakup benda-benda emas yang berasal dari masa Hindu-Buddha, abad ke-8 hingga ke-15 Masehi.

Kelat Bahu
No. inv. A. 965 / 1482

Bentuknya menyerupai susunan mutiara yang membentuk ceplok bunga, sulur-suluran, dan manik-manik halus. Sulur-suluran kemungkinan menggambarkan alam pulau Jawa yang subur



Mangkuk Ramayana

No. inv. 8965

Pada seluruh sisi luar mangkuk berhiaskan relief cerita Ramayana (masa pembuangan Rama, Shinta, dan Laksmana hingga penculikan Shinta oleh Rahwana) yang dibuat dengan ketelitian tinggi. Mangkuk ini dikenal dengan sebutan Mangkuk Ramayana dan menjadi koleksi masterpiece dari Khasanah Wonoboyo.

Hiasan Dada
No. inv. 8999

Bentuknya mengambil inspirasi dari bentuk bulan sabit. Hiasan ini dipenuhi dengan motif floral, yang umum digunakan sebagai ragam hias pada hiasan dada. Ditinjau dari ukuran, kemungkinan digunakan sebagai hiasan dada seorang laki-laki.

Selasa, 02 Juni 2009

Koleksi Arkeologi


Koleksi Arkeologi meliputi benda-benda budaya hasil kegiatan manusia dari masa Hindu Buddha dan lebih dikenal dengan sebutan masa Klasik Indonesia. Masa ini berlangsung dari awal abad ke-5-15 Masehi, dimana berkembang kebudayaan lokal yang dipengaruhi oleh kebudayaan India.

Koleksi Arkeologi di Museum Nasional terdiri dari arca dewa-dewa Hindu, arca Buddha, arca perwujudan, arca binatang, perhiasan, peralatan upacara, bagian bangunan, mata uang, prasasti, dan lain-lain. Koleksi-koleksi tersebut terbuat dari emas, perak, perunggu, batu, dan tanah liat yang dibakar.

Koleksi Arkeologi sebagian besar berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya temuan emas yang sangat bernilai dari desa Wonoboyo, Jawa Tengah; arca batu Prajñaparamita dari Singosari, Jawa Timur. Selain itu juga memiliki koleksi-koleksi penting lainnya, seperti prasasti tertua di Indonesia, yaitu prasasti Yupa dari Muara Kaman, Kutai Kalimantan Timur; prasasti-prasasti dari kerajaan Tarumanegara; dan prasasti-prasasti yang berasal dari masa kerajaan Sriwijaya. Arca Bhairawa Buddha dari Padang Roco, Sumatera Barat juga merupakan koleksi Arkeologi yang cukup menarik perhatian dilihat dari ukurannya yang sangat besar.


Prasasti Mulawarman

Batu;
Kutai Kalimantan Timur;
Abad ke-5 Masehi;
Panjang 40 cm; Lebar 20 cm; Tinggi 170 cm;
No. Inv. D. 2a.

Prasasti ini adalah salah satu dari tujuh buah prasasti yang dipahatkan pada tiang batu yang disebut “Yupa”, dan merupakan prasasti tertua di Indonesia. Ditulis dalam aksara Pallawa Tua dan bahasa Sansekerta. Isinya menyebutkan tentang silsilah Mūlawarmman, raja terbesar di daerah Kutai Purba. Kakeknya bernama Kunduńga, ayahnya bernama Aśwawarmman yang berputra tiga orang. Yang terkenal dari ketiganya ialah Sang Mūlawarmman. Disebutkan dalam prasasti Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan) besar. Untuk memperingati kenduri (selamatan) itulah, yupa ini didirikan oleh para Brahmana.


Mangkuk Ramayana

Emas;
Dusun Plosokuning, Desa Wonoboyo, Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah;
Awal abad ke-10 Masehi;
Panjang 28,8 cm; Lebar 14,4 cm; Tinggi 9,3 cm;
No. Inv. 8965.

Pada bagian luar mangkuk yang berlekuk enam, dihiasi relief cerita Ramayana yang menceritakan penculikan dewi Sita oleh Rawana. Oleh karena itu mangkuk ini dikenal dengan sebutan mangkuk Ramayana. Relief-relief tersebut dibuat dengan teknik solder dan teknik tempa mengambil sistem tempa dari sisi dalam (repousse technique). Pembuatannya sangat halus dan indah sehingga mangkuk ini merupakan benda paling indah (bernilai estetika tinggi) di antara temuan-temuan Wonoboyo lainnya.


Genta Candi

Perunggu;
Jawa Timur;
Abad ke-13—14 M;
No. Inv. 6040.

Genta Candi diletakkan di lingkungan percandian atau kuil untuk memanggil umat beribadah. Hiasan pada genta candi ini sangat raya. Pada bagian puncak genta dihiasi Arca dewa bertangan empat, yang kemungkinan merupakan dewa dalam agama Buddha Mahayana. Bagian sisi-sisinya dihiasi kepala Kala berahang atas dan bawah yang seolah-olah kedua tangannya mencengkeram untaian motif guirlande.


Arca Manjusri

Perak;
Ngemplak, Semongan, Semarang, Jawa Tengah;
Awal 10 Masehi;
T. 29 cm, L. 16 cm, L. 16 cm;
No. inv. 5899/ A. 1105.

Arca ini merupakan Bodhisattwa Mañjuśrī ketika masih muda, yang menguasai masa akan datang. Tangan kanan bersikap waramudra, yang artinya memberi anugerah. Tangan kirinya memegang tangkai bunga teratai biru (utpala) setengah terbuka, yang di atasnya terletak sebuah pustaka (buku), melambangkan pencerahan ilmu pengetahuan.


Kendi Susu

Tanah Liat;
Desa Sembung, Mojokerto, Jawa Timur;
14—15 Masehi;
T. 16 cm,
No. inv. 1886

Kendi dengan cucuk berbentuk payudara sangat populer di masa Majapahit. Falsafahnya ialah bahwa air yang keluar dari kendi ini khasiatnya menghidupi, seperti susu ibu. Kendi tipe ini kemungkinan digunakan pada upacara, karena bentuk corot susu dianggap tidak praktis untuk pemakaian sehari-hari. Di Bali kendi seperti ini diletakkan di tempat-tempat keramat seperti di Gunung Kawi, Gua Gajah dan Yeh Pulu.

Senin, 01 Juni 2009

Koleksi Geografi


Koleksi Geografi Museum Nasional saat ini terdiri dari fosil, yaitu fosil toxaster dan amonit yang berumur antara 75 - 135 juta tahun, koleksi batuan antara lain batuan sedimen, dan metamorf. Berbagai jenis peta antara lain peta tentang aneka budaya bangsa Indonesia, peta dunia pada sekitar abad ke-15 - 17 Masehi, peta Indonesia abad ke-16 Masehi, peta perkembangan kota Batavia abad ke-16 - 18 Masehi, dan lain-lain. Di samping itu ada pula koleksi berbagai perlengkapan navigasi seperti kompas, kronometer, sextan, dan lain-lain, beserta beberapa miniatur kapal, yaitu Phinisi, Lete, Nade, dan Bali.


Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus (peta)


Kertas
panjang. 52 cm, lebar 37 cm
Eropa
Diperkirakan edisi setelah tahun 1608
No. inv. 670

Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus merupakan peta “tonggak sejarah” kartografi Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia. Menampilkan perpaduan terbaik ilmu kartografi dan informasi tentang wilayah Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia pada tujuh puluh tahun pertama abad ke-16. Peta ini dimuat dalam sebuah atlas Geografi modern yang berjudul Theatrum Orbis Terrarum yang disusun oleh Abraham Ortelius (1527-1598). Dibuat dalam lembar-lembar terpisah yang memuat 35 lembar teks dan 53 buah peta cetakan lempeng tembaga. Deskripsi asli menggunakan tulisan latin, kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Sejak edisi tahun 1608 dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris dan Itali.

Peta ini merupakan peta yang menggambarkan kepulauan Indonesia yang terakhir dibuat sebelum kedatangan Belanda ke Nusantara. Penggambarannya sangat luas, dari wilayah bagian barat India yang dikuasai Portugis, menyambung ke Cina, Jepang, Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia termasuk Irian Jaya, sampai pantai barat laut Amerika. Sumatera dan Jawa terlihat dalam bentuk yang menyimpang. Bentuk Kalimantan dan Philipina sangat jelas sebaik susunan Kepulauan Indonesia pada umumnya. Jawa kelihatan sebagai sebuah pulau. Kalimantan dipetakan sebagai tempat yang dikarang dengan sebutan Jawa Minor. Di sisi lain tampak pulau-pulau penghasil cengkeh seperti Ternate, Tidore dan sekitarnya di bagian selatan, Machian dan Bacan dengan letak yang tepat sampai sebelah barat Pulau Halmahera (Gigolo). Digambarkan juga Pulau Buru, Pulau Ambon yang sekarang disebut Seram, dan “Kepala Burung” bagian dari Irian Jaya digambarkan dalam tiga pulau. Pulau Gebe, dimana Perancis pertama kali mendapatkan cengkeh dan pala pada abad ke-18 terlihat tepat di garis ekuator diantara Pulau Halmahera dan Irian Jaya.


Batu Duga

Timah, tali
Indonesia
Berat 4 & 3 kg, T. 17 cm &14,5cm, P. tali 106 cm
abad 19
No.inv. 622a/b

Biasanya digunakan oleh pelaut tradisional sebagai alat untuk mengetahui kedalaman laut demi keselamatan pelayaran. Kedalaman laut dapat diketahui megulur batu duga ini ke kedalaman laut sampai ke dasar laut dengan arah tegak lurus, sehingga kedalaman laut dapat diketahui dengan mengukur panjang tali yang terulur ke dalam air laut. Batu duga ini terbuat dari timah sehingga meskipun berukuran kecil tetapi berat. Bagian atas dari batu duga ini terdapat lubang pengait yang berfungsi mengaitkan batu duga dengan tali yang akan diulur.


Sextant

Kuningan
Indonesia
p.12,5 cm, D lensa 4,5 cm, D ¼ ling.19 cm
Abad 19
Nomor inv. 624

Sextant merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur tinggi kulminasi benda-benda langit (matahari, bulan, planet, bintang) di atas horizon kodrat. Pengukuran ini sangat penting untuk menentukan tempat atau posisi kapal di samudera ataupun pesawat terbang di udara Dalam menentukan posisi kapal biasanya dilakukan pada siang hari dengan menembak matahari dengan menggunakan alat ini. Sextant terdiri dari (1) Cermin index. (2) setengah kaca bening (kaca horizon) dan setengah cermin. (3) Teropong.