Oleh: Trigangga
Semua orang tentu setuju bahwa museum seyogyanya menjadi tempat yang menyenangkan (rekreatif) sekaligus tempat pembelajaran (edukatif). Beberapa museum ada yang lebih menonjol fungsi rekreatifnya daripada fungsi edukatifnya, begitu juga sebaliknya. Jika museum lebih menonjol fungsi edukatifnya, biasanya dikaitkan dengan suatu kenangan atau peringatan (memorial). Tujuannya adalah untuk merenungkan kembali apa yang telah diperbuat oleh pendahulu-pendahulu kita, misalnya jika mengandung nilai-nilai kepahlawanan yang positif, perlu kita teladani. Namun, jika mengandung nilai-nilai yang negatif diupayakan tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
Di antara museum-museum yang bernuansa memorial itu kebanyakan menampilkan tragedi umat manusia, baik disebabkan oleh alam (bencana alam) maupun ulah manusia sendiri (bencana perang). Masalahnya, apakah semua memorial museum itu cocok dikunjungi untuk semua umur? Karena beberapa museum ada yang menampilkan adegan kekerasan (violence) yang belum pantas didengar atau disaksikan anak-anak sekolah. Bahkan tidak semua orang dewasa sanggup mendengar dan menyaksikan kengerian yang digambarkan dalam pameran tersebut.
Berikut ini adalah beberapa memorial museum yang menggambarkan sisi gelap kemanusiaan yang mengakibatkan tragedi nasional/internasional. Dua di antaranya dipandang sebagai genocide museum (museum pemusnahan bangsa).
1. Auschwitz-Birkenau State Museum
Sebuah museum yang berlokasi di Polandia bagian selatan, yaitu Oświęcim (dalam bahasa Jerman: Auschwitz), 286 kilometer dari ibukota Polandia, Warsawa. Ketika Polandia diduduki pasukan Nazi Jerman September 1939, Oświęcim digabung ke dalam wilayah Jerman dan diberi nama Auschwitz.
Museum ini sebenarnya adalah tempat konsentrasi dan pembasmian tawanan Nazi Jerman (German Nazi Concentration and Extermination Camp) yang terdiri dari tiga kompleks utama: Auschwitz I adalah pusat administrasi, Auschwitz II (Birkenau) adalah tempat pembasmian tawanan, dan Auschwitz III tempat kerja paksa. Dua tempat yang disebut terdahulu telah masuk Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) sejak 1979.
Yang paling banyak mendapat perhatian adalah Auschwitz-Birkenau ini karena tempat tersebut menjadi tempat pembantaian orang Yahudi ± 1,1 juta orang, warga Polandia 75.000 orang, dan orang gypsie Roma 19.000 orang. Sebagian besar dari mereka tewas mengenaskan, dibunuh di dalam ruang gas beracun, sisanya tewas karena dibiarkan kelaparan, sakit yang tidak diobati, kerja paksa, dan bahan eksperimen medis. Mayat-mayat mereka kemudian dibawa ke ruang krematorium untuk diperabukan atau dikubur secara masal.
2. Tuol Sleng-Genocide Museum
Museum ini dulunya adalah gedung sekolah SMU Tuol Svay Prey di Phnom Penh, mengabadikan nama leluhur raja Kamboja, Norodom Sihanouk, berupa kompleks lima bangunan yang beralih fungsi menjadi penjara dan pusat interogasi tahanan dalam tahun 1975. Ketika Khmer Merah di bawah rezim Pol Pot berkuasa (1975 – 1979) penjara itu dikenal dengan nama Tuol Sleng “Security Prison 21 (S-21)” dengan penjagaan yang ketat. Ruang-ruang kelas diubah menjadi sel-sel penjara yang sempit dan ruang-ruang penyiksaan.
Rezim Pol Pot dituding telah melakukan genocide terhadap rakyatnya sendiri. Jutaan rakyat Kamboja bersama warga asing mati dengan sia-sia. Mereka dibunuh tanpa alasan yang jelas; hanya karena seseorang dituduh berkhianat, yang belum tentu benar, seluruh keluarga ikut menanggung akibatnya.
Dari 1975 hingga 1979 diperkirakan 17.000 orang dipenjarakan di Tuol Sleng. Para tahanan diambil dari seluruh negeri, biasanya anggota tentara Khmer Merah rezim sebelumnya yang dituduh berkhianat atau politisi komunis tingkat tinggi yang membahayakan kedudukan rezim Pol Pot. Di penjara Tuol Sleng ini para tahanan diinterogasi, disiksa secara keji, dan akhirnya mereka bersama keluarganya digiring ke ladang pembantaian Choeung Ek (± 15 km dari Phnom Penh) untuk dieksekusi. Dalam mengeksekusi para tahanan, tentara Khmer Merah jarang menggunakan peluru, karena sebutir peluru teramat mahal untuk ditembakkan di tubuh korban. Sebagai gantinya tentara Khmer Merah menggunakan besi batangan yang dihantamkan berkali-kali, menghunjamkan pacul, beliung, dan menebaskan parang ke tubuh korban.
Begitu pengunjung memasuki area museum ini “bau kematian” sudah terasa; lemari pajang yang berisi penuh tengkorak korban pembantaian, ruang tempat penyiksaan dengan dinding-dinding yang kusam, sudah tentu dengan foto-foto para tahanan yang disiksa. Bahkan ada ruang pameran yang menggambarkan peta wilayah Kamboja, tetapi disusun dari ratusan tengkorak korban pembantaian.
3. War Remnants Museum
Museum Sisa-sisa Perang (War Remnants Museum) ini didirikan tahun 1975 di kota Ho Chi Minh (dulu Saigon), Vietnam. Pernah dikenal sebagai Museum Kejahatan Perang Cina dan Amerika (Museum of Chinese and American War Crimes), tetapi kemudian diubah namanya menjadi War Remnants Museum untuk menghindari kecaman turis-turis asing, Cina dan Amerika, juga demi normalisasi hubungan diplomatik antara Vietnam dan Amerika Serikat.
Museum ini menampilkan kekejaman perang di wilayah Indocina, yang menjadi jajahan Perancis. Begitu Perancis hengkang dari Indocina, tentara Amerika diterjunkan ke wilayah tersebut pada 1960-an. Periode tersebut adalah era Perang Dingin (Cold War) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dengan alasan ingin membendung pengaruh komunis dari utara, pasukan Amerika Serikat diterjunkan ke wilayah Vietnam. Tentara Vietnam Utara atau Viet Cong yang di-backing Uni Soviet merangsek ke wilayah Vietnam Selatan yang non-komunis dan didukung oleh pasukan Amerika Serikat. Melalui taktik perang gerilya yang membuat gabungan pasukan Amerika Serikat dan Vietnam Selatan frustrasi, akhirnya pasukan Viet Cong berhasil merebut kota Saigon. Puncaknya adalah pasukan Amerika Serikat hengkang dari Saigon pada 30 April 1975, dan negara Vietnam yang komunis terbentuk.
Selama berkecamuknya Perang Vietnam, pasukan Amerika dituduh mempraktekkan “perang kotor”, antara lain menggunakan bom kimia, napalm, yang berdampak sangat luas, karena banyak penduduk sipil menjadi korban.
Materi pameran terdiri dari rongsokan mesin-mesin perang seperti tank, kendaraan lapis baja, pesawat bomber, senjata-senjata artileri (meriam, howitzer, bazooka), ranjau, dan sebagainya. Didukung oleh foto-foto hasil jepretan wartawan perang, bahkan beberapa di antaranya memenangkan hadiah Pulitzer, contohnya foto beberapa anak penduduk sipil Vietnam berlarian sambil menangis, dengan tubuh telanjang karena terbakar oleh bom napalm.
Kekalahan di medan Perang Vietnam tampaknya sulit diterima para veteran perang Amerika. Selain menuai protes dari masyarakatnya yang anti perang juga perang menimbulkan trauma yang mendalam. Untuk menghibur diri para produser film Hollywood menciptakan “jagoan-jagoan perang” dalam film Rambo, Missing in Action, dan lain-lain, yang mengisahkan seorang veteran perang Amerika ingin membebaskan rekan-rekannya yang menjadi tawanan pasukan Viet Cong. Akhir film dapat ditebak, sang jagoan ngamuk lalu mengobrak-abrik sarang pasukan Viet Cong dengan senjata modern yang mungkin belum ada pada masa itu, dan rekan-rekan yang ditawan berhasil dibebaskan.
Namun heran bin takjub, museum-museum bernuansa horor itu tetap menarik perhatian pengunjung, terutama turis-turis mancanegara. Museum di Auschwitz contohnya, mampu menarik perhatian rata-rata 700.000 pengunjung setiap tahunnya. Apa sebabnya? Mungkin kekerasan dan kekejaman yang merupakan bagian dari basic instinct manusia tetap menjadi cerita yang menarik untuk didengar dan dilihat. Naluri dasar yang negatif itu akan terus ada selama iblis tidak bosan-bosannya menyuruh manusia berbuat batil atau dosa.
Tuol Sleng-Genocide Museum (foto John L Silva)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar