Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Pengantar Kepala Museum Nasional


Museum Nasional sebagai sebuah lembaga studi warisan budaya dan pusat informasi edukatif kultural dan rekreatif, mempunyai kewajiban menyelamatkan dan melestarikan benda warisan budaya bangsa Indonesia. Hingga saat ini koleksi yang dikelola berjumlah 141.899 benda, terdiri atas tujuh jenis koleksi yaitu prasejarah, arkeologi, keramik, numismatik-heraldik, sejarah, etnografi, dan geografi.

Penyelamatan dan pelestarian budaya ini pada hakikatnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat, diinformasikan melalui pameran dan penerbitan-penerbitan katalog, brosur, audio visual juga website. Tujuannya agar masyarakat tahu dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian warisan budaya bangsa.

Mengenai pameran, sistem penataan pameran di gedung lama (Unit A) berdasarkan pada jenis-jenis koleksi, baik berdasarkan keilmuan, bahan, maupun kedaerahan. Misalnya Ruang pameran Prasejarah, Ruang Perunggu, Ruang Tekstil, Ruang Etnografi daerah Sumatera, dan lain-lain. Sedangkan penataan pameran di gedung baru (Unit B atau Gedung Arca) tidak lagi berdasarkan jenis koleksi, melainkan mengarah kepada tema berdasarkan aspek-aspek kebudayaan yang memosisikan manusia sebagai pelaku dalam lingkungan tempat tinggalnya. Tema pameran yang berjudul “Keanekaragaman Budaya dalam Kesatuan” ini terdiri atas beberapa subtema antara lain [1] Manusia dan Lingkungan, [2] Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekonomi, [3] Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, dan [4] Khasanah dan Keramik.

Gedung Unit C direncanakan akan dibangun untuk memperluas tata pameran yang sudah ada dan untuk melengkapi subtema terakhir yaitu [5] Religi dan Kesenian. Hanya doa restu dan dukungan dari berbagai pihak (pemerhati museum, akademisi, pengunjung) yang kami harapkan agar pembangunan gedung selanjutnya dapat terlaksana. Terima kasih.

Kepala Museum Nasional

Dra. Retno Sulistianingsih Sitowati, MM

Sejarah dan Informasi Museum Nasional





Sejarah Museum Nasional

Museum Nasional berawal dari pendirian suatu himpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG), oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 24 April 1778. Pada masa itu di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the Age of Enlightenment) yang ditandai perkembangan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. Pada 1752 di Haarlem, Belanda berdiri De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Perkumpulan Ilmiah Belanda). Hal ini mendorong orang-orang Belanda di Batavia (Indonesia) untuk mendirikan organisasi sejenis.

BG merupakan lembaga independen, untuk tujuan memajukan penetitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi, dan sejarah. Selain itu BG menerbitkan berbagai hasil penelitian. Lembaga ini mempunyai semboyan "Ten Nutte van het Algemeen" (Untuk Kepentingan Masyarakat Umum).

Salah seorang pendiri lembaga ini, JCM Radermacher, menyumbangkan sebuah rumah miliknya di Jalan Kalibesar, suatu kawasan perdagangan di Jakarta-Kota. Dia juga menyumbangkan sejumlah koleksi benda budaya dan buku yang amat berguna. Sumbangan Radermacher inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya museum dan perpustakaan.



Selama masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816), Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles menjadi direktur perkumpulan ini. Oleh karena rumah di Kalibesar sudah penuh dengan koleksi, Raffles memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dulu disebut gedung "Societeit de Harmonie"). Bangunan ini berlokasi di Jalan Majapahit nomor 3. Sekarang di tempat ini berdiri kompleks gedung Sekretariat Negara, di dekat Istana Kepresidenan.

Jumlah koleksi milik BG terus neningkat hingga museum di Jalan Majapahit tidak dapat lagi menampung koleksinya. Pada 1862 pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membangun sebuah gedung museum baru di lokasi yang sekarang, yaitu Jalan Medan Merdeka Barat No. 12 (dulu disebut Koningsplein West). Tanahnya meliputi area yang kemudian di atasnya dibangun gedung Rechst Hogeschool atau "Sekolah Tinggi Hukum" (pernah dipakai untuk markas Kenpetai di masa pendudukan Jepang, sekarang Kementerian Pertahanan dan Keamanan). Gedung museum ini dibuka untuk umum pada 1868.

Museum ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya penduduk Jakarta. Mereka menyebutnya "Gedung Gajah" atau "Museum Gajah" karena di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada 1871. Kadang kala disebut juga "Gedung Arca" karena di dalam gedung memang banyak tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai periode sejarah.

Pada 1923 perkumpulan ini memperoleh gelar "koninklijk" karena jasanya dalam bidang ilmiah dan proyek pemerintah sehingga lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG). Pada 26 Januari 1950 KBG diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi waktu itu, sebagaimana tercermin dalam semboyan barunya: "memajukan ilmu-ilmu kebudayaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kepulauan Indonesia dan negeri-negeri sekitarnya".

Mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia maka pada 17 September 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi Museum Pusat. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.092/0/1979 tertanggal 28 Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional.

Kini Museum Nasional bernaung di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Museum Nasional mempunyai visi yang mengacu kepada visi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yaitu "Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antarbangsa".


Alamat

Jalan Medan Merdeka Barat 12, Jakarta 10110
Telepon +62 21 386-8172

Jam Buka
Selasa - Kamis08.30 - 14.30
Jumat08.30 - 11.30
Sabtu08.30 - 13.30
Minggu08.30 - 14.30
Senin & Hari Libur NasionalTutup


Karcis Masuk
DewasaRp 5000 (Perorangan)
Rp 3000 (Rombongan)
Anak-anakRp 2000 (Perorangan)
Rp 1000 (Rombongan)
TurisRp 10.000


Koleksi Museum Nasional



Peta Lokasi Museum Nasional

Senin, 03 Agustus 2009

Mata Uang Sebagai Sumber Sejarah Indonesia


Mungkin ada yang bertanya kapankah mata uang mulai diciptakan dan digunakan sebagai alat tukar di Indonesia?. Mata uang itu sebenarnya baru diciptakan sejak terjadi peristiwa jual beli yang semakin rumit. Perdagangan dalam bentuknya yang sederhana adalah saling bertukar barang, disebut juga barter, antara kedua belah pihak.

Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan barang maka perdagangan menjadi semakin ramai karena setiap orang pada dasarnya tidak hanya membutuhkan satu jenis barang melaiñkan berbagai macam barang (misalnya beras, garam, gula, minyak, dsb). Tetapi di kemudian hari timbul masalah bagaimana kalau berdagang dalam jumlah besar, apalagi nilai suatu barang tidak sama dengan barang lain. Misalnya satu pikul garam mungkin baru setara nilainya dengan satu karung beras. Jadi seandainya pertukaran barang atau barter ini terjadi dalam jumlah besar, kedua pihak bakal menemui kesulitan membawa barangnya masing-masing, belum lagi jarak yang ditempuh dan tenaga yang dibutuhkan. OIeh karena sistem barter lama-lama dianggap tidak praktis maka orang mulai memikirkan alat penukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Demikianlah mata uang mulai diciptakan.

Dari hasil penelitian mata uang yang pernah beredar dan berlaku di Indonesia dapatlah disusun sejarah perkembangan mata uang Indonesia sebagai berikut:

I. Masa Klasik (Hindu-Budha: abad ke-5-15)
II. Masa Islam (abad ke-13-19)
III.Masa Kolonial (abad ke-16-20)
IV.Masa Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-)


I. Masa Klasik (Hindu-Budha: abad ke-5-15)

Sejalan dengan mulai dikenalnya pelayaran (lalu lintas di laut dan sungai) maka perdagangan tidak hanya dilakukan di satu tempat saja melainkan sudah menjangkau ke tempat-tempat lain yang jauh, yang terpisah oleh lautan atau sungai. Sebagai akibatnya terjadilah perdagangan antar pulau dan antar negara. Letak geografis kepulauan Indonesia yang menguntungkan menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu cabang jalan pelayaran perdagangan internasional pada jaman purba.

Hubungan dagang dengan India mengakibatkan terjadinya perubahan dalam ber-masyarakat, terutama tata negara, di sebagian daerah Indonesia sebagai akibat penyebaran agama Hindu dan Budha. Inilah yang kemudian melatari munculnya kerajaan-kerajaan kuna yang bercorak Hindu-Budha seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kadiri, Singhasari dan Majapahit, dalam kurun waktu abad ke-5 hingga abad ke-15.

Bukti bahwa kepulauan Indonesia pernah dikunjungi pedagang-pedagang asing dapat diketahui dari sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan kronik (catatan perjalanan) asing. Di dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7) dijumpai istilah dalam bahasa Sansekerta, vaniyaga, artinya ‘saudagar’ atau pedagang’. Kata vaniyaga kemudian diserap menjadi kata bahasa Indonesia, berniaga, padanan kata dan ‘berdagang’.

Apa yang membuat pedagang-pedagang asing dan India, Cina, Kamboja, Vietnam, Srilangka, dan Arab datang ke Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia? Tidak lain adalah barang barang dagangan dan kepulauan Indonesia yang amat diminati oleh pedagang-pedagang asing tersebut antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, kapur barus, kain katun, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Sedangkan pedagang-pedagang dari kepulauan Indonesia biasanya mengimpor kain sutera, kain brokat warna-warni dan keramik.

Pedagang-pedagang asing tersebut ketika mengadakan transaksi jual-beli dengan penduduk lokal menggunakan alat tukar (uang) yang dibawa dan negerinya masing-masing. Akibatnya banyak mata uang asing dari berbagai negara beredar di kepulauan Indonesia. Hubungan dagang yang terjalin erat dengan India lambat laun mendatangkan ilham bagi penduduk lokal atau penguasa suatu kerajaan untuk membuat mata uang sendiri. Mata uang yang mereka buat sedikit-banyak menyerupai mata uang di India baik dalam wujud maupun satuan nilainya.

Dahulu di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, sebagaimana diberitakan oleh kronik Cina dari jaman Dinasti Song (960-1279). Uang itu dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar berbentuk setengah bulat, segi empat atau segitiga. Potongan-potongan logam emas dan perak itu kemudian diberi cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang kebanyakan berupa gambar sebuah jambangan dan tiga kuncup/kuntum bunga, atau tiga pucuk/tunas daun. Diperkirakan uang semacam ini sudah digunakan sejak abad ke-7.

Selain itu ada mata uang Jawa jaman Hindu-Budha yang berbentuk bundar seperti kancing baju, namanya uang Mā, singkatan dan māsa. Disebut demikian karena pada salah satu sisi (bagian yang cembung) ada tanda tera atau cap berupa huruf Nagari, huruf yang berasal dan India, berbunyi mā. Sedang pada sisi yang lain (bagian yang cekung) terdapat cap bergambar bunga berkelopak empat. Ada juga uang Ma dengan cap huruf Jawa Kuna. Uang ml tidak hanya ditemukan di Jawa melainkan juga di Bali dan Sumatra, kebanyakan dibuat dan perak. Uang yang beratnya sekitar 2,4 gram ini sudah digunakan sejak abad ke-9.

Selain uang Mā juga banyak ditemukan uang emas yang bentuknya seperti butiran jagung dengan cap huruf Nagari berbunyi tā, singkatan dari tahil. Beratnya sama dengan uang Mā, yaitu 2,4 gram.

Mata uang māsa dan tahil agaknya terus digunakan sejak jaman kerajaan Mataram, Kadiri, Singhasari hingga awal munculnya kerajaan Majapahit. Tetapi pada jaman keemasan kerajaan Majapahit (abad ke-14) justru yang banyak beredar adalah mata uang tembaga, kuningan dan timah. Di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Majapahit uang mi disebut pisis, yang pada masa-masa kemudian dikenal sebagai uang gobog. lstilah ‘gobog’ diberikan oleh masyarakat Jawa sekarang yang berarti tidak laku lagi.

Jadi, uang gobog adalah sebutan untuk uang lokal Majapahit dan kepeng Cina. Mengapa demikian? Karena pada abad ke-14 banyak pedagang Cina yang bermukim di wilayah kerajaan Majapahit. Mereka itu kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik, menjadi orang kaya di sana. Tidak sedikit penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Dalam transaksi perdagangan penduduk setempat menggunakan uang tembaga (kepeng) Cina dan berbagal dinasti. Keberadaan orang-orang Cina di kerajaan Majapahit inilah yang kemudian memberikan ilham bagi penduduk setempat untuk membuat mata uang tembaga yang menyerupai kepeng Cina, dikenal dengan sebutan uang gobog.

Hiasan pada satu atau kedua sisi uang gobog berupa relief manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tulisan dan lain-lain. Yang menarik di sini adalah gaya manusia yang digambarkan mirip wayang kulit. Bahkan di antaranya ada yang dapat dikenali dengan baik sebagai tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti Gatutkaca, Semar dan Togog. Hiasan-hiasan pada uang gobog menggambarkan kehidupan masyarakat Majapahit masa itu seperti penggembala sapi, petapa, nelayan, pemburu banteng, peternak, penenun, bangsawan dan para pengiringnya, dan lain-lain.

Selain gambar, pada uang gobog juga tertera tulisan. Ada uang gobog dengan tulisan Arab yang dikenal sebagai “kalimat syahadat”, bunyinya la ilaha ilallah, muhammad rasul allah (tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah). Sekitar lubang bundar terdapat hiasan yang menggambarkan pancaran sinar yang dikenal sebagai “sinar (matahari) Majapahit”.

Tulisan huruf Arab pada uang gobog mi adalah suatu bukti bahwa agama Islam telah dianut oleh sebagian masyarakat kerajaan Majapahit yang mayoritas beragama Hindu dan Budha. Bahwa masyarakat Majapahit bersikap penuh toleransi terhadap agama Islam ditunjukkan dan banyaknya makam Islam di dekat ibukota kerajaan Majapahit sendiri, yaitu desa Sentonorejo, Trowulan, Jawa Timur. Mungkin uang gobog seperti ini juga dimaksudkan sebagai media penyebaran agama Islam di samping cara-cara lain seperti lewat dakwah atau pertunjukan seni.
Kegunaan uang-uang tersebut di atas sebagai alat pembayaran dalam jual beli tanah, gadai-tebus tanah, utang piutang, denda-denda sebagai akibat pelanggaran hukum, juga digunakan sebagai benda sesaji, bekal kubur bahkan amulet/ajimat.


II. Masa Islam (abad ke-13-19)

Masa Islam adalah masa perkembangan agama Islam di Indonesia dan munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di berbagai daerah dan abad ke-13 hingga abad ke-19. Umumnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia letaknya tidak jauh dan pelabuhan yang memungkinkan masyarakatnya dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang asing, khususnya dari Timur Tengah.

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudra Pasai di daerah Aceh, berdiri pada akhir abad ke-13. Kemudian bermunculan kerajaan-kerajaan Islam lain seperli Aceh Darusalam, Palembang, Jambi, Banten, Cirebon, Demak, Surakarta, Sumenep, Banjarmasin, Pontianak, Gowa, Buton dan Ternate-Tidore. Beberapa dari kerajaan-kerajaan Islam tersebut akhirnya berada di bawah pemenintah kolonial Belanda dan Inggris.

Ciri-ciri umum mata uang kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia adalah bertuliskan nama-nama penguasa yang lajim disebut sulthan dan tahun Hijrah dalam tulisan Arab atau Jawi (Arab-Melayu). Di kerajaan Samudra Pasai dan Aceh Darusalam mata uang yang dibuat dan emas disebut derham. Derham tertua berasal dan Sultan Ahmad Malik az-Zahir yang memerintah sekitar tahun 1297-1327. Selain uang emas kerajaan Aceh Darusalam juga mengeluarkan uang timah yang disebut kasha.

Sementara itu kerajaan Palembang juga mengedarkan uang dari tembaga dan timah; ada dua macam mata uang dan kerajaan ml yaitu mata uang yang berlubang di tengah, disebut juga piti teboh, dan mata uang tanpa lubang, disebut piti buntu. Menurut kebiasaan orang Palembang, piti teboh lajimnya dirangkai dengan seutas rotan. Satu rangkai piti teboh terdiri dan 500 keping uang, disebut satu cucub atau setali. Sedangkan piti buntu ditempatkan dalam kantong yang dibuat dari daun nipah disebut kupat. Tiap kupat berisi 250 keping piti buntu. Mata uang tersebut kebanyakan dibuat pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin (abad ke-18).

Masih di sekitar wilayah Sumatra Selatan, yaitu di pulau Bangka, sejak dahulu menjadi tempat imigran orang-orang Cina. Komunitas Cina ini mendirikan kongsi-kongsi yang bergerak dalam usaha pertambangan timah. Masing-masing pimpinan perusahaan timah ini mengedarkan mata uang yang berlaku di lingkungannya. Oleh karena itu pada mata uangnya dicantumkan nama kongsi (dalam huruf Cina) dan pengusaha timah itu. Uang timah yang disebut kasha ini beredar pada abad ke-18.

Sementara itu di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti di Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta dan Madura. Kerajaan Banten pernah mengedarkan mata uang kasha dari tembaga; pada salah satu sisi ada tulisan huruf Arab atau Jawa berbunyi pangeran ratu ing banten, gelar Sultan Maulana Muhammad yang memerintah di Banten pada tahun 1580 — 1596.

Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang amat tipis dan mudah pecah ini berlubang segi empat atau bundar di tengahnya, disebut picis, dibuat sekitar abad ke-17. Sekeliling lubang ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin berbunyi CHERIBON.

Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga real batu karena bentuknya yang tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak beredar di Mexico yang kemudian beredar juga di Filipina (jajahan Spanyol). Di negeri asalnya uang mi bernilai 8 Reales. Selain uang real Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.

Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan utamanya adalah Pontianak, Banjarmasin dan Maluka (Kalimantan Selatan). Kerajaan-kerajaan ini mengedarkan uang tembaga yang disebut duit. Kerajaan Banjarmasin mengedarkan uang dengan memanfaatkan mata uang ‘duit’ VOC yang salah cetak. Kesalahan cetak ini dapat dilihat dari tulisan VOC dan angka tahun yang terbalik. Tetapi pada sisi yang lain terdapat gambar perisai dengan tulisan Arab berbunyi ‘banjarmasin’.

Di daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah dalam tahun 1653-1669. Di samping itu beredar juga uang dan bahan campuran timah dan tembaga, disebut kupa.

Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara lebih unik lagi, mengedarkan sejenis uang dan katun yang disebut kampua atau bida. Uang katun ini konon dibuat atau ditenun oleh puteri-puteri keraton di bawah pengawasan Menteri Besar. Setiap tahun coraknya dibuat berbeda untuk mencegah pemalsuan. Siapa saja yang berani meniru atau memalsukan uang kampua ini diancam hukuman mati. Uang ini beredar sampai ke daerah Sulawesi Selatan dan Maluku hingga akhir abad ke-19.


III. Masa Kolonial (abad ke-16 – 20)

Masa kolonial yaitu masa ketika banyak bangsa asing, terutama bangsa-bangsa Eropa, menjelajah ke berbagai penjuru dunia (Asia, Afrika, Amerika dan Australia) untuk dijadikan koloni atau tanah jajahan mereka. Bangsa-bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah Belanda, Inggris, Portugis dan Jepang. Masa ini berlangsung dari abad ke-16 sampal abad ke-20, dan dapat dirinci menjadi:

a. Masa Kolonial Belanda;
- Kompeni Belanda (VOC) tahun 1602 - 1799
- Republik Batavia tahun 1799 - 1806
- Louis Napoleon (Belanda di bawah kekuasaan Perancis) tahun 1806 – 1811
- Kerajaan Belanda tahun 1816 – 1942
- Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) tahun 1945 – 1949

b. Masa Kolonial Inggris
- Kompeni Inggris (EIC) di Jawa tahun 1811 – 1816

c. Masa Pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945

d. Masa Kolonial Portugis (di Timor Timur) abad ke-16 – 1975

Bangsa-bangsa tersebut, kecuali Jepang, pada mulanya datang ke Indonesia bermaksud untuk berdagang. Tetapi lama-lama mereka menguasai tanah dan menjajah daerah-daerah di Indonesia.

Pada awal abad ke-16, pedagang-pedagang Portugis memperkenalkan serta mengedarkan uang yang disebut mat atau pasmat dan real yang dibuat dari perak. Bangsa ini pernah menguasai separo daratan di Pulau Timor; tahun 1975 – 1999 pernah menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia sebagai propinsi Timor Timur (propinsi ke-27). Sejak tahun 2000, Timor Timur memerdekakan diri di bawah pengawasan PBB, dan merdeka penuh tahun 2004 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. Selama Timor Timur menjadi koloni Portugal, pemerintah kolonial pernah memberlakukan mata uang dengan satuan centavos dan escudos.

Kemudian pada akhir abad ke-16 armada kapal dagang Belanda mendarat di Pulau Jawa. Pada tahun 1602 mereka mendirikan persekutuan dagang di Hindia-Timur, dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Kompeni Belanda. Tujuan mereka di Indonesia adalah merebut Sunda Kelapa untuk dijadikan pusat kegiatan kompeni. Sunda Kelapa kemudian diganti namanya menjadi Batavia. Dari sini Kompeni Belanda mulai menjalankan siasatnya yaitu mengusir orang-orang Portugis dan merebut beberapa daerah pelabuhan penting bagi sektor perdagangan. Pada masa Kompeni Belanda banyak beredar mata uang dengan berbagai satuan nilai seperti schelling, dukat, dukatoon, doit, stuiver, rijksdaalder, gulden, dan sebagainya. Mata uang tersebut dicetak di propinsi-propinsi di negeri Belanda dan Indonesia, terutama di Batavia.

Ketika Kompeni Belanda mengalami kesulitan memperoleh bahan baku logam untuk membuat mata uang, dicari alternatif lain untuk mencetak uang kertas yang menyerupai kertas berharga (sertifikat). Menjelang runtuhnya VOC (1799) dibuat semacam uang darurat dari potongan-potongan batangan tembaga berbentuk persegi empat yang dicetak di Batavia, disebut uang bonk.

Setelah VOC bubar Indonesia di bawah kendali pemerintahan Republik Batavia (1799 — 1806), mengikuti situasi di negeri Belanda, karena pada waktu itu pengaruh Revolusi Perancis (1789) sampai ke negara-negara Eropa, termasuk Belanda. Revolusi Perancis mengubah sistem monarki (kerajaan/kekaisaran) menjadi republik. Mata uang keluaran masa ini dicirikan dengan tulisan “INDIÆ BATAVORUM’, dengan satuan nilai gulden dan stuiver.

Kemudian, tahun 1806 — 1811 di Indonesia beredar uang logam yang dibubuhi tulisan inisial LN, demikian juga pada kertas-kertas berharga diberi cap bertulisan LN, singkatan dari ‘Louis Napoleon’. Louis Napoleon adalah adik kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, yang amat terkenal dalam sejarah Perancis. Ia diangkat oleh kaisar menjadi raja di Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau mata uang keluaran masa ini menampilkan wajah Louis Napoleon, baik yang berlaku di Belanda maupun Indonesia. Satuan nilainya adalah gulden, rijksdaalder, doit dan stuiver.

Pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia, khususnya di Jawa (1811-1816), beredar berbagai macam mata uang yang dibuat dari emas, perak, tembaga dan timah. Salah satu yang dikenal adalah ‘Rupee Jawa’ yang pada kedua sisinya tertera tulisan huruf Jawa dan Arab.
Jauh sebelum ini, mata uang Kompeni Inggris dengan monogram UEIC (United East India Company) telah beredar di daerah-daerah di Sumatra, contohnya Bengkulu, sejak tahun 1783 dengan satuan nilai suku dan keping.

Masa pemerintahan Inggris di Jawa tidak berlangsung lama. Pada tahun 1816 pemerintah-an diserahkan kembali kepada kerajaan Belanda, dengan demikian Indonesia kembali menjadi jajahan Belanda yang pada waktu itu disebut Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indië).

Pada masa itu pemerintah Hindia-Belanda menghadapi berbagai perlawanan dari penguasa-penguasa lokal di Indonesia sehingga terjadilah perang, di antaranya adalah Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, Perang Paderi (1821- 1837) di Sumatra Barat, dan Perang Aceh (1873-1903). Perang tersebut menelan biaya yang sangat besar, yang mengakibatkan kas keuangan negeri Belanda menjadi kosong.

Pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengisi kas dengan berbagai cara, antara lain menjual beberapa lahan tanah kepada perusahaan partikelir (swasta) yang membuka usaha perkebunan. Pemilik perkebunan selain orang Belanda sendiri juga orang-orang asing seperti Cina, Arab, Jerman, Inggris, Perancis dan Jepang. Mereka membuka usaha perkebunan teh, kopi, tembakau, tebu, dan karet, tersebar di berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Untuk membayar gajih buruh yang bekerja di perkebunannya, mereka menciptakan uang yang disebut ‘token perkebunan’, semacam alat tukar yang hanya beredar dan berlaku di tempat tertentu, seperti token untuk perkebunan teh, token untuk perkebunan tembakau, dan sebagainya. Token perkebunan yang pernah beredar di Indonesia bentuknya sangat unik, ada yang berbentuk segitiga, segilima, segienam, bahkan berbentuk seperti mata. Bahannya selain logam dan kerfas, juga dari bambu.

Cara lainnya, Belanda menciptakan “tanam paksa” atau kultuurstelsel, yaitu rakyat Indonesia dipaksa menanam tebu, kopi, karet dan teh yang sangat laku di pasaran internasional. Dengan cara ini Belanda memperoleh pemasukan uang yang sangat besar, tetapi sebaliknya rakyat Indonesia sangat menderita.

Pada masa itu satuan mata uang yang beredar adalah gulden dan cent, dengan nilai-nilainya yang dikenal dengan istilah ringgit (2½ Gulden/Rupiah), suku (50 Sen), tali (25 Sen), ketip atau picis (10 Sen), kelip (5 Sen), dan benggol atau gobang (2½ Sen). Selain uang logam dicetak pula uang kertas keluaran De Javasche Bank; inilah bank pertama yang berdiri di Indonesia pada abad ke-19, sekarang menjadi Bank Indonesia.

Pada pertengahan abad ke-20 terjadi Perang Dunia II dan Jepang muncul sebagai kekuatan baru di Asia. Bala tentara Jepang menduduki wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Pada tahun 1942 Jepang berhasil menduduki Indonesia, dalam waktu singkat pemerintah Hindia-Belanda dibuat bertekuk lutut di bawah tentara pendudukan Jepang. Pada masa itu uang kertas yang beredar pertama kali tertera tulisan dalam bahasa Belanda dengan satuan gulden, oleh karena itu disebut “Gulden Jepang”. Ketika pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda maka dibuatlah uang kertas dengan tulisan bahasa Indonesia dan Jepang (huruf Kanji) dengan satuan rupiah. OIeh karena itu uang ini disebut “Rupiah Jepang”.

Semua uang kertas keluaran pemerintah pendudukan Jepang ini tidak ada nomor seri dan tanda tangan Menteri Keuangan, Gubernur Bank atau Direktur Bank, jadi tidak seperti lajimnya uang kertas sekarang. Namun demikian uang pendudukan Jepang ini berlaku terus sampal beberapa saat setelah Jepang menyerah kalah (tahun 1945).


IV. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia (1945 –….)

Kemerdekaan Indonesia yang masih berusia muda ternyata mendapat rongrongan dari berbagai pihak, tidak hanya dari luar tetapi juga dari dalam. Rongrongan dari luar adalah pihak pemerintah sipil Hindia-Belanda (NICA = Netherlands-India Civil Administration) yang ingin berkuasa kembali di Indonesia, bekas negeri jajahannya. Usaha tentara NICA untuk menduduki Indonesia kembali menimbulkan revolusi fisik; mereka menghadapi perlawanan sengit dari pejuang-pejuang Republik Indonesia (RI).

Perang Kemerdekaan tidak hanya melibatkan senjata tetapi juga uang. Pada masa itu juga terjadi “perang ekonomi”, karena kedua pihak yang bermusuhan yaitu RI dan NICA bersama-sama mencetak dan mengedarkan uang untuk merebut simpati masyarakat. Uang keluaran NICA waktu itu disebut “uang merah”, sedangkan uang keluaran pemerintah RI atau ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang didukung oleh pejuang-pejuang RI disebut ‘uang putih”. Untuk mematahkan perlawanan pejuang-pejuang RI, tentara NICA mengadakan razia besar-besaran terhadap percetakan-percetakan ORI yang berada di Jakarta. Menghadapi blokade musuh ini, akhirnya pemerintah RI menetapkan kebijakan kepada daerah-daerah untuk mencetak ORI sendiri (disebut ORIDA). Oleh karena itu ada ORI daerah Yogyakarta, daerah Banten, Lampung, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan lain-lain.

Kemudian, pada tahun 1949-1950 Belanda melancarkan taktik baru, divide et impera, yaitu mencoba memecah belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara Federasi RIS (Republik Indonesia Serikat), sehingga di beberapa daerah timbul gerakan separatis/ pemberontakan yang intinya ingin memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akibatnya timbul berbagai pemberontakan seperti PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), RMS (Republik Maluku Selatan), DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan lain-lain, yang masing-masing mencetak dan mengedarkan mata uang di daerahnya sendiri.

Setelah melampaui perjuangan yang berat akhirnya kedaulatan negara RI pulih kembali tahun 1951, dan saat itulah Indonesia mulai melangkah ke masa pembangunan. Meskipun dalam hal keuangan sudah mulai mantap, tetapi kegiatan pembangunan di Indonesia masih saja terusik oleh rongrongan dari dalam, sebab tahun 1950-1965 Indonesia
menghadapi berbagai gerakan pengacau keamanan seperti pemberontakan PRRI, APRA, RMS, hingga G3OS/ PKI. Adapun uang yang beredar pada masa itu, selain menggambarkan usaha pembangunan ekonomi (pertanian dan industri), juga menggambarkan pentingnya membentuk pertahanan dan keamanan (hankam). Adanya gambar sukarelawan dan sukarelawati pada uang kertas contohnya, menunjukkan bahwa negara RI waktu itu membutuhkan para sukarelawan/wati untuk ikut ambil bagian dalam pertahanan dan keamanan (bela negara). Masa antara fahun 1950-1 965 disebut masa Orde Lama (ORLA).

Kemudian, mulai tahun 1966 Indonesia melangkah ke masa Orde Baru (ORBA). Program pembangunan dijalankan secara bertahap dan terarah melalui REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Agar program yang dicanangkan pemerintah dapat berjalan dengan baik dan berhasil maka rakyat Indonesia perlu mendukung usaha itu. Oleh karena itulah pemerintah kemudian mengimbau dengan berbagai cara, di samping melalui media massa (televisi, radio, surat kabar) juga memanfaatkan benda yang sangat dibutuhkan masyarakat setiap saat yaitu: uang.

Uang ternyata menjadi alat siar yang ampuh bagi pemerintah guna menanamkan kesadaran masyarakat. Contohnya, pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan laju pertambahan penduduk. Pada uang itu ditulis slogan “Keluarga Berencana — Menuju Kesejahteraan Rakyat”. Cara mi ternyata berhasil, buktinya Presiden Suharto waktu itu (8 Juni 1989) memperoleh piagam Penghargaan Kependudukan dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) atas keberhasilannya menanamkan kesadaran kepada masyarakat untuk ikut melaksanakan keluarga berencana.

*****

Ternyata perjalanan sejarah mata uang di Indonesia begitu panjang, meliputi kurun waktu ± 15 abad. Aspek yang dapat diteliti dari kehadiran mata uang tidak hanya aspek ekonomi, melainkan juga aspek politik dan sosial. Menarik untuk ditelusuri bahwa penggunaan nama mata uang Indonesia, rupiah, tidak lahir begitu saja melainkan melalui proses yang panjang. Untuk sekedar diketahui bahwa ‘rupiah’ berasal dari kata rupya (bahasa Sansekerta) yang artinya perak. OIeh karena itu sering kita mendengar ungkapan dalam percakapan sehari-hari orang mengucapkan contohnya 500 Rupiah menjadi “500 perak”, walau kenyataannya uang itu bukan dibuat dari perak melainkan kertas. Kita harus mengakui bahwa satuan mata uang Indonesia sebenarnya serumpun dengan satuan mata uang India, yaitu rupee, karena memang ada hubungan historis.

Satu contoh lagi, dalam percakapan orang sering menggunakan kata duit, padanan kata dari ‘uang’. Padahal duit, duyt, atau doit adalah satuan mata uang dari jaman Kompeni Belanda yang tidak lagi digunakan pada masa sekarang. Banyak juga ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia yang berhubungan dengan uang seperti: setali tiga uang (artinya ‘sama saja’ atau ‘tidak ada bedanya’), mata duitan (yang dipikirkan cuma uang), roman picisan (karya sastra bernilal rendah), dan sebagainya.

Demikian sejarah singkat tentang mata uang yang pernah beredar di Indonesia. Selama uang masih dibutuhkan masyarakat sebagai alat pembayaran, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, selama itulah sejarah umat manusia akan terus tercatat dan dikenang dengan uang sebagai medianya. [disarikan dari: Mata Uang sebagai Sumber Sejarah Indonesia, oleh Trigangga, dkk, Museum Nasional, 2003]

1 komentar: