Mungkin ada yang bertanya kapankah mata uang mulai diciptakan dan digunakan sebagai alat tukar di Indonesia?. Mata uang itu sebenarnya baru diciptakan sejak terjadi peristiwa jual beli yang semakin rumit. Perdagangan dalam bentuknya yang sederhana adalah saling bertukar barang, disebut juga barter, antara kedua belah pihak.
Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan barang maka perdagangan menjadi semakin ramai karena setiap orang pada dasarnya tidak hanya membutuhkan satu jenis barang melaiñkan berbagai macam barang (misalnya beras, garam, gula, minyak, dsb). Tetapi di kemudian hari timbul masalah bagaimana kalau berdagang dalam jumlah besar, apalagi nilai suatu barang tidak sama dengan barang lain. Misalnya satu pikul garam mungkin baru setara nilainya dengan satu karung beras. Jadi seandainya pertukaran barang atau barter ini terjadi dalam jumlah besar, kedua pihak bakal menemui kesulitan membawa barangnya masing-masing, belum lagi jarak yang ditempuh dan tenaga yang dibutuhkan. OIeh karena sistem barter lama-lama dianggap tidak praktis maka orang mulai memikirkan alat penukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Demikianlah mata uang mulai diciptakan.
Dari hasil penelitian mata uang yang pernah beredar dan berlaku di Indonesia dapatlah disusun sejarah perkembangan mata uang Indonesia sebagai berikut:
I. Masa Klasik (Hindu-Budha: abad ke-5-15)
II. Masa Islam (abad ke-13-19)
III.Masa Kolonial (abad ke-16-20)
IV.Masa Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-)
I. Masa Klasik (Hindu-Budha: abad ke-5-15)
Sejalan dengan mulai dikenalnya pelayaran (lalu lintas di laut dan sungai) maka perdagangan tidak hanya dilakukan di satu tempat saja melainkan sudah menjangkau ke tempat-tempat lain yang jauh, yang terpisah oleh lautan atau sungai. Sebagai akibatnya terjadilah perdagangan antar pulau dan antar negara. Letak geografis kepulauan Indonesia yang menguntungkan menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu cabang jalan pelayaran perdagangan internasional pada jaman purba.
Hubungan dagang dengan India mengakibatkan terjadinya perubahan dalam ber-masyarakat, terutama tata negara, di sebagian daerah Indonesia sebagai akibat penyebaran agama Hindu dan Budha. Inilah yang kemudian melatari munculnya kerajaan-kerajaan kuna yang bercorak Hindu-Budha seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kadiri, Singhasari dan Majapahit, dalam kurun waktu abad ke-5 hingga abad ke-15.
Bukti bahwa kepulauan Indonesia pernah dikunjungi pedagang-pedagang asing dapat diketahui dari sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan kronik (catatan perjalanan) asing. Di dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7) dijumpai istilah dalam bahasa Sansekerta, vaniyaga, artinya ‘saudagar’ atau pedagang’. Kata vaniyaga kemudian diserap menjadi kata bahasa Indonesia, berniaga, padanan kata dan ‘berdagang’.
Apa yang membuat pedagang-pedagang asing dan India, Cina, Kamboja, Vietnam, Srilangka, dan Arab datang ke Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia? Tidak lain adalah barang barang dagangan dan kepulauan Indonesia yang amat diminati oleh pedagang-pedagang asing tersebut antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, kapur barus, kain katun, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Sedangkan pedagang-pedagang dari kepulauan Indonesia biasanya mengimpor kain sutera, kain brokat warna-warni dan keramik.
Pedagang-pedagang asing tersebut ketika mengadakan transaksi jual-beli dengan penduduk lokal menggunakan alat tukar (uang) yang dibawa dan negerinya masing-masing. Akibatnya banyak mata uang asing dari berbagai negara beredar di kepulauan Indonesia. Hubungan dagang yang terjalin erat dengan India lambat laun mendatangkan ilham bagi penduduk lokal atau penguasa suatu kerajaan untuk membuat mata uang sendiri. Mata uang yang mereka buat sedikit-banyak menyerupai mata uang di India baik dalam wujud maupun satuan nilainya.
Dahulu di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, sebagaimana diberitakan oleh kronik Cina dari jaman Dinasti Song (960-1279). Uang itu dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar berbentuk setengah bulat, segi empat atau segitiga. Potongan-potongan logam emas dan perak itu kemudian diberi cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang kebanyakan berupa gambar sebuah jambangan dan tiga kuncup/kuntum bunga, atau tiga pucuk/tunas daun. Diperkirakan uang semacam ini sudah digunakan sejak abad ke-7.
Selain uang Mā juga banyak ditemukan uang emas yang bentuknya seperti butiran jagung dengan cap huruf Nagari berbunyi tā, singkatan dari tahil. Beratnya sama dengan uang Mā, yaitu 2,4 gram.
Jadi, uang gobog adalah sebutan untuk uang lokal Majapahit dan kepeng Cina. Mengapa demikian? Karena pada abad ke-14 banyak pedagang Cina yang bermukim di wilayah kerajaan Majapahit. Mereka itu kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik, menjadi orang kaya di sana. Tidak sedikit penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Dalam transaksi perdagangan penduduk setempat menggunakan uang tembaga (kepeng) Cina dan berbagal dinasti. Keberadaan orang-orang Cina di kerajaan Majapahit inilah yang kemudian memberikan ilham bagi penduduk setempat untuk membuat mata uang tembaga yang menyerupai kepeng Cina, dikenal dengan sebutan uang gobog.
Hiasan pada satu atau kedua sisi uang gobog berupa relief manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tulisan dan lain-lain. Yang menarik di sini adalah gaya manusia yang digambarkan mirip wayang kulit. Bahkan di antaranya ada yang dapat dikenali dengan baik sebagai tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti Gatutkaca, Semar dan Togog. Hiasan-hiasan pada uang gobog menggambarkan kehidupan masyarakat Majapahit masa itu seperti penggembala sapi, petapa, nelayan, pemburu banteng, peternak, penenun, bangsawan dan para pengiringnya, dan lain-lain.
Tulisan huruf Arab pada uang gobog mi adalah suatu bukti bahwa agama Islam telah dianut oleh sebagian masyarakat kerajaan Majapahit yang mayoritas beragama Hindu dan Budha. Bahwa masyarakat Majapahit bersikap penuh toleransi terhadap agama Islam ditunjukkan dan banyaknya makam Islam di dekat ibukota kerajaan Majapahit sendiri, yaitu desa Sentonorejo, Trowulan, Jawa Timur. Mungkin uang gobog seperti ini juga dimaksudkan sebagai media penyebaran agama Islam di samping cara-cara lain seperti lewat dakwah atau pertunjukan seni.
Kegunaan uang-uang tersebut di atas sebagai alat pembayaran dalam jual beli tanah, gadai-tebus tanah, utang piutang, denda-denda sebagai akibat pelanggaran hukum, juga digunakan sebagai benda sesaji, bekal kubur bahkan amulet/ajimat.
II. Masa Islam (abad ke-13-19)
Masa Islam adalah masa perkembangan agama Islam di Indonesia dan munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di berbagai daerah dan abad ke-13 hingga abad ke-19. Umumnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia letaknya tidak jauh dan pelabuhan yang memungkinkan masyarakatnya dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang asing, khususnya dari Timur Tengah.
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudra Pasai di daerah Aceh, berdiri pada akhir abad ke-13. Kemudian bermunculan kerajaan-kerajaan Islam lain seperli Aceh Darusalam, Palembang, Jambi, Banten, Cirebon, Demak, Surakarta, Sumenep, Banjarmasin, Pontianak, Gowa, Buton dan Ternate-Tidore. Beberapa dari kerajaan-kerajaan Islam tersebut akhirnya berada di bawah pemenintah kolonial Belanda dan Inggris.
Sementara itu kerajaan Palembang juga mengedarkan uang dari tembaga dan timah; ada dua macam mata uang dan kerajaan ml yaitu mata uang yang berlubang di tengah, disebut juga piti teboh, dan mata uang tanpa lubang, disebut piti buntu. Menurut kebiasaan orang Palembang, piti teboh lajimnya dirangkai dengan seutas rotan. Satu rangkai piti teboh terdiri dan 500 keping uang, disebut satu cucub atau setali. Sedangkan piti buntu ditempatkan dalam kantong yang dibuat dari daun nipah disebut kupat. Tiap kupat berisi 250 keping piti buntu. Mata uang tersebut kebanyakan dibuat pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin (abad ke-18).
Sementara itu di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti di Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta dan Madura. Kerajaan Banten pernah mengedarkan mata uang kasha dari tembaga; pada salah satu sisi ada tulisan huruf Arab atau Jawa berbunyi pangeran ratu ing banten, gelar Sultan Maulana Muhammad yang memerintah di Banten pada tahun 1580 — 1596.
Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan utamanya adalah Pontianak, Banjarmasin dan Maluka (Kalimantan Selatan). Kerajaan-kerajaan ini mengedarkan uang tembaga yang disebut duit. Kerajaan Banjarmasin mengedarkan uang dengan memanfaatkan mata uang ‘duit’ VOC yang salah cetak. Kesalahan cetak ini dapat dilihat dari tulisan VOC dan angka tahun yang terbalik. Tetapi pada sisi yang lain terdapat gambar perisai dengan tulisan Arab berbunyi ‘banjarmasin’.
Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara lebih unik lagi, mengedarkan sejenis uang dan katun yang disebut kampua atau bida. Uang katun ini konon dibuat atau ditenun oleh puteri-puteri keraton di bawah pengawasan Menteri Besar. Setiap tahun coraknya dibuat berbeda untuk mencegah pemalsuan. Siapa saja yang berani meniru atau memalsukan uang kampua ini diancam hukuman mati. Uang ini beredar sampai ke daerah Sulawesi Selatan dan Maluku hingga akhir abad ke-19.
III. Masa Kolonial (abad ke-16 – 20)
Masa kolonial yaitu masa ketika banyak bangsa asing, terutama bangsa-bangsa Eropa, menjelajah ke berbagai penjuru dunia (Asia, Afrika, Amerika dan Australia) untuk dijadikan koloni atau tanah jajahan mereka. Bangsa-bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah Belanda, Inggris, Portugis dan Jepang. Masa ini berlangsung dari abad ke-16 sampal abad ke-20, dan dapat dirinci menjadi:
a. Masa Kolonial Belanda;
- Kompeni Belanda (VOC) tahun 1602 - 1799
- Republik Batavia tahun 1799 - 1806
- Louis Napoleon (Belanda di bawah kekuasaan Perancis) tahun 1806 – 1811
- Kerajaan Belanda tahun 1816 – 1942
- Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) tahun 1945 – 1949
b. Masa Kolonial Inggris
- Kompeni Inggris (EIC) di Jawa tahun 1811 – 1816
c. Masa Pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945
d. Masa Kolonial Portugis (di Timor Timur) abad ke-16 – 1975
Bangsa-bangsa tersebut, kecuali Jepang, pada mulanya datang ke Indonesia bermaksud untuk berdagang. Tetapi lama-lama mereka menguasai tanah dan menjajah daerah-daerah di Indonesia.
Ketika Kompeni Belanda mengalami kesulitan memperoleh bahan baku logam untuk membuat mata uang, dicari alternatif lain untuk mencetak uang kertas yang menyerupai kertas berharga (sertifikat). Menjelang runtuhnya VOC (1799) dibuat semacam uang darurat dari potongan-potongan batangan tembaga berbentuk persegi empat yang dicetak di Batavia, disebut uang bonk.
Kemudian, tahun 1806 — 1811 di Indonesia beredar uang logam yang dibubuhi tulisan inisial LN, demikian juga pada kertas-kertas berharga diberi cap bertulisan LN, singkatan dari ‘Louis Napoleon’. Louis Napoleon adalah adik kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, yang amat terkenal dalam sejarah Perancis. Ia diangkat oleh kaisar menjadi raja di Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau mata uang keluaran masa ini menampilkan wajah Louis Napoleon, baik yang berlaku di Belanda maupun Indonesia. Satuan nilainya adalah gulden, rijksdaalder, doit dan stuiver.
Jauh sebelum ini, mata uang Kompeni Inggris dengan monogram UEIC (United East India Company) telah beredar di daerah-daerah di Sumatra, contohnya Bengkulu, sejak tahun 1783 dengan satuan nilai suku dan keping.
Masa pemerintahan Inggris di Jawa tidak berlangsung lama. Pada tahun 1816 pemerintah-an diserahkan kembali kepada kerajaan Belanda, dengan demikian Indonesia kembali menjadi jajahan Belanda yang pada waktu itu disebut Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indië).
Pada masa itu pemerintah Hindia-Belanda menghadapi berbagai perlawanan dari penguasa-penguasa lokal di Indonesia sehingga terjadilah perang, di antaranya adalah Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, Perang Paderi (1821- 1837) di Sumatra Barat, dan Perang Aceh (1873-1903). Perang tersebut menelan biaya yang sangat besar, yang mengakibatkan kas keuangan negeri Belanda menjadi kosong.
Cara lainnya, Belanda menciptakan “tanam paksa” atau kultuurstelsel, yaitu rakyat Indonesia dipaksa menanam tebu, kopi, karet dan teh yang sangat laku di pasaran internasional. Dengan cara ini Belanda memperoleh pemasukan uang yang sangat besar, tetapi sebaliknya rakyat Indonesia sangat menderita.
Pada masa itu satuan mata uang yang beredar adalah gulden dan cent, dengan nilai-nilainya yang dikenal dengan istilah ringgit (2½ Gulden/Rupiah), suku (50 Sen), tali (25 Sen), ketip atau picis (10 Sen), kelip (5 Sen), dan benggol atau gobang (2½ Sen). Selain uang logam dicetak pula uang kertas keluaran De Javasche Bank; inilah bank pertama yang berdiri di Indonesia pada abad ke-19, sekarang menjadi Bank Indonesia.
Semua uang kertas keluaran pemerintah pendudukan Jepang ini tidak ada nomor seri dan tanda tangan Menteri Keuangan, Gubernur Bank atau Direktur Bank, jadi tidak seperti lajimnya uang kertas sekarang. Namun demikian uang pendudukan Jepang ini berlaku terus sampal beberapa saat setelah Jepang menyerah kalah (tahun 1945).
IV. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia (1945 –….)
Setelah melampaui perjuangan yang berat akhirnya kedaulatan negara RI pulih kembali tahun 1951, dan saat itulah Indonesia mulai melangkah ke masa pembangunan. Meskipun dalam hal keuangan sudah mulai mantap, tetapi kegiatan pembangunan di Indonesia masih saja terusik oleh rongrongan dari dalam, sebab tahun 1950-1965 Indonesia
Uang ternyata menjadi alat siar yang ampuh bagi pemerintah guna menanamkan kesadaran masyarakat. Contohnya, pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan laju pertambahan penduduk. Pada uang itu ditulis slogan “Keluarga Berencana — Menuju Kesejahteraan Rakyat”. Cara mi ternyata berhasil, buktinya Presiden Suharto waktu itu (8 Juni 1989) memperoleh piagam Penghargaan Kependudukan dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) atas keberhasilannya menanamkan kesadaran kepada masyarakat untuk ikut melaksanakan keluarga berencana.
*****
Ternyata perjalanan sejarah mata uang di Indonesia begitu panjang, meliputi kurun waktu ± 15 abad. Aspek yang dapat diteliti dari kehadiran mata uang tidak hanya aspek ekonomi, melainkan juga aspek politik dan sosial. Menarik untuk ditelusuri bahwa penggunaan nama mata uang Indonesia, rupiah, tidak lahir begitu saja melainkan melalui proses yang panjang. Untuk sekedar diketahui bahwa ‘rupiah’ berasal dari kata rupya (bahasa Sansekerta) yang artinya perak. OIeh karena itu sering kita mendengar ungkapan dalam percakapan sehari-hari orang mengucapkan contohnya 500 Rupiah menjadi “500 perak”, walau kenyataannya uang itu bukan dibuat dari perak melainkan kertas. Kita harus mengakui bahwa satuan mata uang Indonesia sebenarnya serumpun dengan satuan mata uang India, yaitu rupee, karena memang ada hubungan historis.
Satu contoh lagi, dalam percakapan orang sering menggunakan kata duit, padanan kata dari ‘uang’. Padahal duit, duyt, atau doit adalah satuan mata uang dari jaman Kompeni Belanda yang tidak lagi digunakan pada masa sekarang. Banyak juga ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia yang berhubungan dengan uang seperti: setali tiga uang (artinya ‘sama saja’ atau ‘tidak ada bedanya’), mata duitan (yang dipikirkan cuma uang), roman picisan (karya sastra bernilal rendah), dan sebagainya.
Demikian sejarah singkat tentang mata uang yang pernah beredar di Indonesia. Selama uang masih dibutuhkan masyarakat sebagai alat pembayaran, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, selama itulah sejarah umat manusia akan terus tercatat dan dikenang dengan uang sebagai medianya. [disarikan dari: Mata Uang sebagai Sumber Sejarah Indonesia, oleh Trigangga, dkk, Museum Nasional, 2003]
OWh gitu ya Jasa Pembuatan Website Toko Online serta Cara Promosi Online Shop dan Cara Promosi di Instagram dan Cara Promosi Produk juga Cara Berjualan Online dan Cara Berdagang Online serta
BalasHapusGrosir Jilbab Murah serta Jilbab Instan Terbaru dan Jilbab Segi Empat Terbaru
Jasa Pembuatan Web Murah Berkualitas