Oleh DJULIANTO SUSANTIO
(Suara Pembaruan, 11 Januari 2005)
TAHUN lalu Suara Pembaruan menampilkan tulisan berjudul "Museum Nasional Sepi Pengunjung" dan "Museum Nasional Masih Perlu Gedung Baru". Tulisan itu semakin menambah panjang deretan persoalan museum di Indonesia. Sadar atau tidak sadar, sebenarnya jumlah koleksi Museum Nasional yang di atas 100.000 buah, menjadikan museum itu merupakan salah satu museum terkaya di dunia. Koleksi-koleksi tersebut dikumpulkan sejak abad ke-18 dan berasal dari zaman prasejarah hingga kolonial.
Sebagai museum terbesar dan tertua di Indonesia, Museum Nasional termasuk kategori museum umum, karena koleksinya terdiri atas berbagai jenis objek ilmu pengetahuan dan kesenian. Koleksi tertua berasal dari zaman prasejarah, antara lain fosil, gerabah, kapak batu, kulit kerang, manik-manik, dan nekara perunggu. Sementara koleksi yang tergolong adikarya berupa keramik-keramik asing, terutama dari Cina.
Koleksi arkeologi juga relatif banyak. Sebagian terbesar berasal dari zaman klasik, abad ke-5 hingga ke-16, antara lain berupa arca, ornamen bangunan, prasasti, mata uang, alat musik, dan alat upacara. Bahkan dilengkapi dengan ruang khasanah yang khusus memamerkan benda-benda berharga dari emas.
Koleksi lain adalah numismatik dan heraldik. Koleksi numismatik berupa mata uang yang pernah beredar di kepulauan Nusantara, termasuk uang-uang dari mancanegara. Koleksi heraldik berupa tanda jasa atau lambang dari masa prasejarah hingga abad ke-20.
Koleksi relik sejarah, meskipun sedikit, juga terdapat di Museum Nasional. Antara lain berupa prasasti, mebel, lampu antik, gerabah, meriam, dan keramik dari abad ke-16 hingga ke-19. Begitu juga koleksi geografi, yang umumnya berupa peta-peta kuno. Sedikit jumlahnya, tetapi memberikan informasi detil tentang kota-kota kuno pada waktu itu.
Sebagai bangsa yang multietnis, Museum Nasional menyajikan koleksi etnografi, berupa benda-benda budaya dari berbagai sukubangsa di Indonesia. Tak ketinggalan, Museum Nasional juga memiliki koleksi seni rupa. Karya pelukis Raden Saleh dan Affandi, merupakan koleksi bersejarah yang dipamerkan di sini.
Banyak
Banyaknya koleksi yang dimiliki Museum Nasional, menjadikan museum ini terkesan sempit dan kumuh. Apalagi gedung yang ditempatinya merupakan warisan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Untunglah, beberapa tahun lalu Museum Nasional mendapat hibah gedung di sebelahnya.
Meskipun kini sudah memiliki gedung baru bertingkat, namun kesan sempit masih terasa. Idealnya, Museum Nasional harus bertingkat sepuluh. Mengingat Museum Nasional masih mempunyai lahan kosong yang cukup luas, tentu sekarang harus dipikirkan bagaimana mencari dana untuk membangun gedung.
Dengan ruangan yang sangat lapang, peluang untuk menata koleksi cukup fleksibel. Sebagai museum yang bertaraf internasional, seharusnya setiap tingkat diisi dengan satu jenis koleksi. Misalnya lantai pertama untuk koleksi arkeologi, lantai kedua untuk koleksi numismatik, lantai ketiga untuk koleksi keramik, dan seterusnya.
Ruangan-ruangan lainnya bisa digunakan untuk perpustakaan, laboratorium konservasi, gudang penyimpanan, dan aula serbaguna. Sarana pendukung sangat penting, terutama untuk merawat atau memperbaiki benda-benda koleksi yang rusak.
Sebenarnya masalah Museum Nasional bukan hanya gedung baru. Yang penting adalah sumber daya manusianya. Etos kerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) mungkin menjadi penyebab mengapa kurator-kurator museum di Indonesia belum berkualitas internasional.
Bandingkan dengan British Museum di Inggris. Hasil kebudayaan apa yang paling dikenal di Inggris? Kecuali Stonehenge, Inggris nyaris tidak memiliki peninggalan budaya yang berarti. Namun British Museum menjadi sangat berarti karena mengoleksi benda-benda budaya berkelas dunia asal Mesir, Irak, Yunani, Romawi, dan Indonesia.
Museum Sejarah Alam-nya begitu populer. Para pembuat film dokumenter seperti Discovery Channel dan National Geographic Channel, hampir selalu mengambil referensi dari British Museum. Bahkan British Museum memiliki anggaran untuk melakukan ekskavasi arkeologi di Mesir, Irak, dan berbagai negara lain.
Berbagai ensiklopedia yang ditulis kurator British Museum sangat populer di mana-mana. Manajemen pengelolaannya selalu menjadi inspirasi bagi pengelola museum di negara-negara berkembang.
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari British Museum adalah pengelolaannya sudah benar-benar profesional. Mereka memperlakukan benda-benda budaya milik bangsa lain seperti milik bangsanya sendiri. Mereka merawatnya dengan hati-hati dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Bukan hanya Inggris. Belanda dan Prancis pun pantas disebut Negara Museum. Tradisi mengunjungi museum sudah membudaya hebat. Jangan heran kalau untuk masuk museum saja, orang harus rela antri berpuluh-puluh meter panjangnya. Padahal harga tiket masuk di sana mencapai Rp 100.000 jika dikurskan dengan rupiah.
Negara tetangga kita, Singapura, sudah lama mengandalkan museum sebagai daya tarik pariwisata. Singapura memang tidak mempunyai sumber daya alam atau sumber daya budaya yang menarik seperti Indonesia. Namun kelebihannya, mereka memiliki sumber daya manusia yang handal sehingga mampu menjual potensi museum.
Boleh dikatakan Museum Nasional Singapura masih kalah jauh dibandingkan kualitas dan kuantitas Museum Nasional Jakarta. Namun penataannya sungguh mengagumkan, pencahayaan display amat bagus, promosinya cukup luas, dan penyediaan berbagai fasilitas meyakinkan sekali.
Selain telepon bersuara, museum juga dilengkapi komputer layar sentuh dan perangkat audio-visual untuk membantu pengunjung. Dalam setahun, jumlah pengunjung Museum Nasional Singapura mencapai tujuh juta orang, berkali-kali lipat dari Museum Nasional Jakarta. Sebagai perbandingan tiket masuk di sana mencapai Rp 30.000, sementara di sini Rp 750.
Kontradiksi
Jelas ada yang salah atau kurang dari segi pengelolaan Museum Nasional Jakarta. Sepi pengunjung dan tiket murah merupakan kontradiksi yang sulit diterima akal sehat. Namun bila dikaji, akar masalahnya sebenarnya bukan tiket murah. Biaya transportasi, biaya makan, dan biaya-biaya tak terduga sering menjadi bahan pertimbangan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Keengganan masyarakat untuk berkunjung ke museum juga disebabkan faktor internal museum, seperti label koleksi kurang informatif, pencahayaan ruangan sangat minim, fasilitas umum kotor dan bau, pelayanan buruk, dan masih banyak lagi.
Untuk memajukan museum dan masyarakat, sebaiknya kita meniru Jepang. Secara periodik para siswa dibimbing para guru untuk belajar dari museum. Mereka beranggapan museum adalah etalase ilmu pengetahuan dalam barisan paling depan. Bentuk museum di sana bukan cuma gedung, tetapi juga mobil keliling dengan segala kecanggihan teknologinya.
Orang percaya kalau bangsa Jepang dapat maju pesat karena tiga hal, yakni guru, museum, dan buku. Peran guru, itulah kunci utamanya. Dengan demikian para siswa akan terapresiasi dengan baik terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai koleksi museum.
Susahnya kita di sini, Museum Nasional saja sebagai museum tertua, terlengkap, dan terbesar selalu terbentur masalah dana. Tentu museum-museum lain, terutama yang berlokasi di luar Jakarta, lebih parah keadaannya. Apalagi mengingat sebagian besar museum dikelola pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang otomatis anggarannya tergantung dari APBN atau APBD.
Di sejumlah negara kemajuan suatu museum tergantung pada keprofesionalan direktur museum. Dia dituntut aktif, inovatif, dan kreatif. Mudah-mudahan di Indonesia masih ada orang seperti itu.
*Penulis adalah seorang arkeolog
Sebagai museum terbesar dan tertua di Indonesia, Museum Nasional termasuk kategori museum umum, karena koleksinya terdiri atas berbagai jenis objek ilmu pengetahuan dan kesenian. Koleksi tertua berasal dari zaman prasejarah, antara lain fosil, gerabah, kapak batu, kulit kerang, manik-manik, dan nekara perunggu. Sementara koleksi yang tergolong adikarya berupa keramik-keramik asing, terutama dari Cina.
Koleksi arkeologi juga relatif banyak. Sebagian terbesar berasal dari zaman klasik, abad ke-5 hingga ke-16, antara lain berupa arca, ornamen bangunan, prasasti, mata uang, alat musik, dan alat upacara. Bahkan dilengkapi dengan ruang khasanah yang khusus memamerkan benda-benda berharga dari emas.
Koleksi lain adalah numismatik dan heraldik. Koleksi numismatik berupa mata uang yang pernah beredar di kepulauan Nusantara, termasuk uang-uang dari mancanegara. Koleksi heraldik berupa tanda jasa atau lambang dari masa prasejarah hingga abad ke-20.
Koleksi relik sejarah, meskipun sedikit, juga terdapat di Museum Nasional. Antara lain berupa prasasti, mebel, lampu antik, gerabah, meriam, dan keramik dari abad ke-16 hingga ke-19. Begitu juga koleksi geografi, yang umumnya berupa peta-peta kuno. Sedikit jumlahnya, tetapi memberikan informasi detil tentang kota-kota kuno pada waktu itu.
Sebagai bangsa yang multietnis, Museum Nasional menyajikan koleksi etnografi, berupa benda-benda budaya dari berbagai sukubangsa di Indonesia. Tak ketinggalan, Museum Nasional juga memiliki koleksi seni rupa. Karya pelukis Raden Saleh dan Affandi, merupakan koleksi bersejarah yang dipamerkan di sini.
Banyak
Banyaknya koleksi yang dimiliki Museum Nasional, menjadikan museum ini terkesan sempit dan kumuh. Apalagi gedung yang ditempatinya merupakan warisan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Untunglah, beberapa tahun lalu Museum Nasional mendapat hibah gedung di sebelahnya.
Meskipun kini sudah memiliki gedung baru bertingkat, namun kesan sempit masih terasa. Idealnya, Museum Nasional harus bertingkat sepuluh. Mengingat Museum Nasional masih mempunyai lahan kosong yang cukup luas, tentu sekarang harus dipikirkan bagaimana mencari dana untuk membangun gedung.
Dengan ruangan yang sangat lapang, peluang untuk menata koleksi cukup fleksibel. Sebagai museum yang bertaraf internasional, seharusnya setiap tingkat diisi dengan satu jenis koleksi. Misalnya lantai pertama untuk koleksi arkeologi, lantai kedua untuk koleksi numismatik, lantai ketiga untuk koleksi keramik, dan seterusnya.
Ruangan-ruangan lainnya bisa digunakan untuk perpustakaan, laboratorium konservasi, gudang penyimpanan, dan aula serbaguna. Sarana pendukung sangat penting, terutama untuk merawat atau memperbaiki benda-benda koleksi yang rusak.
Sebenarnya masalah Museum Nasional bukan hanya gedung baru. Yang penting adalah sumber daya manusianya. Etos kerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) mungkin menjadi penyebab mengapa kurator-kurator museum di Indonesia belum berkualitas internasional.
Bandingkan dengan British Museum di Inggris. Hasil kebudayaan apa yang paling dikenal di Inggris? Kecuali Stonehenge, Inggris nyaris tidak memiliki peninggalan budaya yang berarti. Namun British Museum menjadi sangat berarti karena mengoleksi benda-benda budaya berkelas dunia asal Mesir, Irak, Yunani, Romawi, dan Indonesia.
Museum Sejarah Alam-nya begitu populer. Para pembuat film dokumenter seperti Discovery Channel dan National Geographic Channel, hampir selalu mengambil referensi dari British Museum. Bahkan British Museum memiliki anggaran untuk melakukan ekskavasi arkeologi di Mesir, Irak, dan berbagai negara lain.
Berbagai ensiklopedia yang ditulis kurator British Museum sangat populer di mana-mana. Manajemen pengelolaannya selalu menjadi inspirasi bagi pengelola museum di negara-negara berkembang.
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari British Museum adalah pengelolaannya sudah benar-benar profesional. Mereka memperlakukan benda-benda budaya milik bangsa lain seperti milik bangsanya sendiri. Mereka merawatnya dengan hati-hati dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Bukan hanya Inggris. Belanda dan Prancis pun pantas disebut Negara Museum. Tradisi mengunjungi museum sudah membudaya hebat. Jangan heran kalau untuk masuk museum saja, orang harus rela antri berpuluh-puluh meter panjangnya. Padahal harga tiket masuk di sana mencapai Rp 100.000 jika dikurskan dengan rupiah.
Negara tetangga kita, Singapura, sudah lama mengandalkan museum sebagai daya tarik pariwisata. Singapura memang tidak mempunyai sumber daya alam atau sumber daya budaya yang menarik seperti Indonesia. Namun kelebihannya, mereka memiliki sumber daya manusia yang handal sehingga mampu menjual potensi museum.
Boleh dikatakan Museum Nasional Singapura masih kalah jauh dibandingkan kualitas dan kuantitas Museum Nasional Jakarta. Namun penataannya sungguh mengagumkan, pencahayaan display amat bagus, promosinya cukup luas, dan penyediaan berbagai fasilitas meyakinkan sekali.
Selain telepon bersuara, museum juga dilengkapi komputer layar sentuh dan perangkat audio-visual untuk membantu pengunjung. Dalam setahun, jumlah pengunjung Museum Nasional Singapura mencapai tujuh juta orang, berkali-kali lipat dari Museum Nasional Jakarta. Sebagai perbandingan tiket masuk di sana mencapai Rp 30.000, sementara di sini Rp 750.
Kontradiksi
Jelas ada yang salah atau kurang dari segi pengelolaan Museum Nasional Jakarta. Sepi pengunjung dan tiket murah merupakan kontradiksi yang sulit diterima akal sehat. Namun bila dikaji, akar masalahnya sebenarnya bukan tiket murah. Biaya transportasi, biaya makan, dan biaya-biaya tak terduga sering menjadi bahan pertimbangan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Keengganan masyarakat untuk berkunjung ke museum juga disebabkan faktor internal museum, seperti label koleksi kurang informatif, pencahayaan ruangan sangat minim, fasilitas umum kotor dan bau, pelayanan buruk, dan masih banyak lagi.
Untuk memajukan museum dan masyarakat, sebaiknya kita meniru Jepang. Secara periodik para siswa dibimbing para guru untuk belajar dari museum. Mereka beranggapan museum adalah etalase ilmu pengetahuan dalam barisan paling depan. Bentuk museum di sana bukan cuma gedung, tetapi juga mobil keliling dengan segala kecanggihan teknologinya.
Orang percaya kalau bangsa Jepang dapat maju pesat karena tiga hal, yakni guru, museum, dan buku. Peran guru, itulah kunci utamanya. Dengan demikian para siswa akan terapresiasi dengan baik terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai koleksi museum.
Susahnya kita di sini, Museum Nasional saja sebagai museum tertua, terlengkap, dan terbesar selalu terbentur masalah dana. Tentu museum-museum lain, terutama yang berlokasi di luar Jakarta, lebih parah keadaannya. Apalagi mengingat sebagian besar museum dikelola pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang otomatis anggarannya tergantung dari APBN atau APBD.
Di sejumlah negara kemajuan suatu museum tergantung pada keprofesionalan direktur museum. Dia dituntut aktif, inovatif, dan kreatif. Mudah-mudahan di Indonesia masih ada orang seperti itu.
*Penulis adalah seorang arkeolog
Blognya sangat memberikan informasi dan pencerahan untuk masyarakat umum. Mohon dimantapkan jangan sampai hilang seperti halnya blog2 lain. Perlu dukungan dari banyak pihak spy blog ini bisa berkembang. Sekaligus sebg sarana pelestarian dan pengembangan pariwisata.
BalasHapus