Koleksi Geografi Museum Nasional saat ini terdiri dari fosil, yaitu fosil toxaster dan amonit yang berumur antara 75 - 135 juta tahun, koleksi batuan antara lain batuan sedimen, dan metamorf. Berbagai jenis peta antara lain peta tentang aneka budaya bangsa Indonesia, peta dunia pada sekitar abad ke-15 - 17 Masehi, peta Indonesia abad ke-16 Masehi, peta perkembangan kota Batavia abad ke-16 - 18 Masehi, dan lain-lain. Di samping itu ada pula koleksi berbagai perlengkapan navigasi seperti kompas, kronometer, sextan, dan lain-lain, beserta beberapa miniatur kapal, yaitu Phinisi, Lete, Nade, dan Bali.
Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus (peta)
Kertas
panjang. 52 cm, lebar 37 cm
Eropa
Diperkirakan edisi setelah tahun 1608
No. inv. 670
Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus merupakan peta “tonggak sejarah” kartografi Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia. Menampilkan perpaduan terbaik ilmu kartografi dan informasi tentang wilayah Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia pada tujuh puluh tahun pertama abad ke-16. Peta ini dimuat dalam sebuah atlas Geografi modern yang berjudul Theatrum Orbis Terrarum yang disusun oleh Abraham Ortelius (1527-1598). Dibuat dalam lembar-lembar terpisah yang memuat 35 lembar teks dan 53 buah peta cetakan lempeng tembaga. Deskripsi asli menggunakan tulisan latin, kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Sejak edisi tahun 1608 dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris dan Itali.
Peta ini merupakan peta yang menggambarkan kepulauan Indonesia yang terakhir dibuat sebelum kedatangan Belanda ke Nusantara. Penggambarannya sangat luas, dari wilayah bagian barat India yang dikuasai Portugis, menyambung ke Cina, Jepang, Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia termasuk Irian Jaya, sampai pantai barat laut Amerika. Sumatera dan Jawa terlihat dalam bentuk yang menyimpang. Bentuk Kalimantan dan Philipina sangat jelas sebaik susunan Kepulauan Indonesia pada umumnya. Jawa kelihatan sebagai sebuah pulau. Kalimantan dipetakan sebagai tempat yang dikarang dengan sebutan Jawa Minor. Di sisi lain tampak pulau-pulau penghasil cengkeh seperti Ternate, Tidore dan sekitarnya di bagian selatan, Machian dan Bacan dengan letak yang tepat sampai sebelah barat Pulau Halmahera (Gigolo). Digambarkan juga Pulau Buru, Pulau Ambon yang sekarang disebut Seram, dan “Kepala Burung” bagian dari Irian Jaya digambarkan dalam tiga pulau. Pulau Gebe, dimana Perancis pertama kali mendapatkan cengkeh dan pala pada abad ke-18 terlihat tepat di garis ekuator diantara Pulau Halmahera dan Irian Jaya.
Batu Duga
Timah, tali
Indonesia
Berat 4 & 3 kg, T. 17 cm &14,5cm, P. tali 106 cm
abad 19
No.inv. 622a/b
Biasanya digunakan oleh pelaut tradisional sebagai alat untuk mengetahui kedalaman laut demi keselamatan pelayaran. Kedalaman laut dapat diketahui megulur batu duga ini ke kedalaman laut sampai ke dasar laut dengan arah tegak lurus, sehingga kedalaman laut dapat diketahui dengan mengukur panjang tali yang terulur ke dalam air laut. Batu duga ini terbuat dari timah sehingga meskipun berukuran kecil tetapi berat. Bagian atas dari batu duga ini terdapat lubang pengait yang berfungsi mengaitkan batu duga dengan tali yang akan diulur.
Sextant
Kuningan
Indonesia
p.12,5 cm, D lensa 4,5 cm, D ¼ ling.19 cm
Abad 19
Nomor inv. 624
Sextant merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur tinggi kulminasi benda-benda langit (matahari, bulan, planet, bintang) di atas horizon kodrat. Pengukuran ini sangat penting untuk menentukan tempat atau posisi kapal di samudera ataupun pesawat terbang di udara Dalam menentukan posisi kapal biasanya dilakukan pada siang hari dengan menembak matahari dengan menggunakan alat ini. Sextant terdiri dari (1) Cermin index. (2) setengah kaca bening (kaca horizon) dan setengah cermin. (3) Teropong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar