JAMBI, KOMPAS - Pengelolaan Museum Batik Pekalongan dengan sistem konsorsium merupakan paradigma baru dan pertama di Indonesia. Belum sampai tiga tahun sejak diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 12 Juli 2006, museum itu sudah menunjukkan perkembangan dan hasil yang luar biasa. Ribuan orang berkunjung per bulannya dan mendatangkan pemasukan yang relatif besar.
Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat mengatakan, pihaknya akan menjadikan Museum Batik Pekalongan sebagai model pengelolaan museum yang patut dicontoh.
Wali Kota Pekalongan Mohamad Basyir Ahmad mengatakan, ketika mendirikan Museum Batik, pihaknya memilih bangunan tua yang indah peninggalan tahun 1906. Adapun pengelolaannya melibatkan swasta dan tenaga profesional. Museum tak sekadar memajang kain batik, tetapi juga menyelenggarakan kursus singkat membatik, paket pelatihan membatik dengan tarif yang bervariasi dan ada sertifikatnya.
”Pajangan batik yang jumlahnya sekitar 1.000 koleksi dari berbagai daerah di Tanah Air itu diubah setiap tiga bulan sehingga pengunjung selalu mendapat suasana baru,” kata Basyir Ahmad di sela-sela Diskusi dan Komunikasi Museum Indonesia di Kota Jambi, Rabu (6/5).
Ditata kembali
Narasumber lain, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, dan mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati, sama-sama menekankan perlunya museum ditata kembali dan dikelola dengan paradigma baru.
Hari mengatakan, saat ini terdapat 286 museum di Indonesia dan 101 museum di antaranya museum swasta. Sejak otonomi daerah, museum milik pemerintah provinsi atau kabupaten/kota banyak yang kurang mendapat perhatian seharusnya.
Daud Aris Tanudirjo mengatakan, museum-museum di Indonesia perlu ditata kembali dengan pendekatan yang berkiblat kepada pengunjung. Pengelola museum harus tahu kebutuhan pengunjung.
Edi Sedyawati mengatakan, ada tiga unsur yang menentukan mutu suatu museum, yaitu kualitas koleksinya, efektivitas tata kelolanya, dan kemampuan akademik para kuratornya.
”Ada beberapa aspek permuseuman yang penting, seperti fungsi museum sebagai sumber belajar, pelayanan ilmiah dan informasi publik, konservasi dan keahlian dalam penataan pameran,” ujar Edi Sedyawati. (NAL)
(Kompas, Kamis, 7 Mei 2009)
Narasumber lain, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, dan mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati, sama-sama menekankan perlunya museum ditata kembali dan dikelola dengan paradigma baru.
Hari mengatakan, saat ini terdapat 286 museum di Indonesia dan 101 museum di antaranya museum swasta. Sejak otonomi daerah, museum milik pemerintah provinsi atau kabupaten/kota banyak yang kurang mendapat perhatian seharusnya.
Daud Aris Tanudirjo mengatakan, museum-museum di Indonesia perlu ditata kembali dengan pendekatan yang berkiblat kepada pengunjung. Pengelola museum harus tahu kebutuhan pengunjung.
Edi Sedyawati mengatakan, ada tiga unsur yang menentukan mutu suatu museum, yaitu kualitas koleksinya, efektivitas tata kelolanya, dan kemampuan akademik para kuratornya.
”Ada beberapa aspek permuseuman yang penting, seperti fungsi museum sebagai sumber belajar, pelayanan ilmiah dan informasi publik, konservasi dan keahlian dalam penataan pameran,” ujar Edi Sedyawati. (NAL)
(Kompas, Kamis, 7 Mei 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar