Syahdan, ketika para dewa berhasil merebut guci berisi air kehidupan (amerta) dari tangan para raksasa pada waktu pengadukan lautan susu (samudramanthana), berpesta poralah mereka minum air kehidupan. Tetapi diam-diam seorang raksasa, Kala Rau, ikut berbaur di antara para dewa hendak mencicipi air kehidupan. Ulahnya ini segera diketahui oleh Dewi Ratih yang kemudian memberitahu Dewa Wisnu.
Dengan cepat Dewa Wisnu menarik busur dengan anak panah diarahkan ke leher Kala Rau. Anak panah melesat mengenai leher Kala Rau dan putus seketika. Badan raksasa ambruk ke bumi, namun kepalanya yang sempat menenggak air kehidupan melayang ke angkasa. Kepala yang hidup itulah yang kemudian marah dan setiap saat meneror ingin menelan Dewi Ratih, dewi bulan, sehingga terjadi gerhana.
Untuk mengalihkan perhatian Kala Rau, masyarakat Bali memuku-mukul kentongan agar ia mengurungkan niatnya menelan dewi bulan. Kalaupun dewi bulan berhasil ditelan oleh Kala Rau, tentunya ia akan keluar lagi melalui leher yang putus itu.
Gerhana Bulan dan Matahari terjadi karena perpotongan antara orbit Bulan dan lintasan Matahari (dari sudut pandang geosentris) yang menghasilkan dua titik simpul, N1 dan N2. Kedua titik simpul inilah yang dalam astronomi Hindu disebut “planet” Rahu (simpul atas) dan Ketu (simpul bawah).
Itulah cuplikan kisah tentang terjadinya gerhana, khususnya gerhana bulan, yang masih diyakini masyarakat Hindu di Jawa dan Bali. Rau atau Rahu menurut astronomi Hindu adalah salah satu “planet” hasil perpotongan orbit bulan dan ekliptika (lintasan matahari).
Menurut astronomi Hindu ada sembilan planet (nawagraha) yang mengelilingi Bumi (faham geosentris), yaitu Aditya (Matahari), Candra (Bulan), Manggala (Mars), Budha (Merkurius), Brhaspati (Yupiter), Sukra (Venus), Sani (Saturnus), Rahu (simpul atas), dan Ketu (simpul bawah). Urutan nam-nama planet, kecuali Rahu dan Ketu, diadopsi menjadi nam-nama hari dalam pekan tujuh hari (saptawara), yaitu Aditya (Minggu), Candra atau Soma (Senin), Manggala atau Anggara (Selasa), Budha (Rabu), Brhaspati atau Guru (Kamis), Sukra (Jumat), Sani atau Sanescara (Sabtu).
Prasasti sebagai salah satu sumber sejarah yang penting tidak hanya mengungkapkan peristiwa-peristiwa politik, ekonomi, religi dan kehidupan masyarakat masa lalu, melainkan juga menyingkap pengetahuan-pengetahuan lain, salah satunya pengetahuan astronomi. Pengetahuan ini terungkap dari bagian prasasti yang menyebutkan titimangsa atau pertanggalan.
Dari unsur-unsur penang-galan itu tersingkap bahwa pengetahuan astronomi masyarakat Indonesia yang menganut agama Hindu dan Budha mengikuti faham geosentris, model astronomi kuno yang juga dianut ahli perbintangan bangsa India, juga bangsa-bangsa Eropa. Faham geosentris menempatkan Bumi sebagai titik sentral atau pusat dari alam semesta, semua benda langit termasuk matahari dan bintang-bintang mengelilingi Bumi.
Faham geosentris mulai ditinggalkan ketika Nicolaus Copernicus (1473-1543) mengajukan gagasan bahwa Matahari adalah salah satu bintang yang dikelilingi oleh planet-planet (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus) dengan masin-masing satelit (bulan) yang mengelilingi planet induknya, disebut faham heliosentris atau sistem Tata Surya. Disadari juga bahwa Matahari merupakan bagian dari gugus bintang yang dikenal sebagai galaksi Bima Sakti (Milky Way). Inilah tonggak terpenting dalam pengetahuan astronomi moderen.
Prasasti Sucen I adalah sebuah prasasti yang dipahatkan pada bagian dalam payung perak yang berdiameter 30,8 cm. Puncak payung dihiasi batu kristal berbentuk lonjong dan dibalut dengan lembaran emas. Artefak ini ditemukan di desa Sucen, kecamatan Kandangan, kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dan hingga sekarang masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta (nomor inventaris 3331/ 685a/A204. Yang menarik dari isi prasasti adalah bagian titimangsa yang menyebutkan bahwa payung perak ini dibuat pada saat “gerhana Bulan” (candragrahana) tahun Saka 765 bulan Caitra (= 19 Maret 843). Inilah fenomena astronomis pertama di Indonesia yang pernah disebutkan dalam prasasti.
Gerhana adalah peristiwa terhalangnya benda angkasa oleh bayangan benda angkasa lain, khususnya antara Matahari, planet, dan satelit planet (bulan). Gerhana Bulan, juga gerhana Matahari, adalah fenomena astronomis biasa yang terjadi setiap tahun. Gerhana Bulan terjadi pada saat bulan purnama (full moon), yaitu pada tanggal 14-15 menurut kalender Hijrah (Islam), atau tanggal 15 paro terang (pancadasi suklapaksa) menurut kalender Saka (Hindu). Sedangkan gerhana Matahari terjadi pada saat bulan baru (new moon), yaitu pada tanggal 29-30 menurut kalender Hijrah, atau tanggal 15 paro gelap (pancadasi krĕsnapaksa) menurut kalender Saka.
Dalam setahun maksimal terjadi gerhana bulan adalah 3 kali, sedangkan gerhana matahari maksimal 4 kali. Mengapa demikian? Karena bidang edar Bulan membentuk sudut sebesar 5º 9´ terhadap bidang edar Matahari. Seandainya bidang edar Bulan dan bidang edar Matahari adalah 0º maka gerhana Bulan dan Matahari rutin terjadi setiap bulan pada tanggal-tanggal tersebut.
Pada saat terjadi gerhana Bulan, Bulan akan memasuki dua bayangan Bumi yaitu penumbra (bayangan tambahan) dan umbra (bayangan inti). Ketika memasuki penumbra Bumi, cahaya Bulan akan tampak redup kemerahan, dan ketika masuk umbra Bumi keadaan Bulan benar-benar gelap total, hingga keluar lagi dari bayangan inti dan tambahan. Seluruh proses tersebut dilalui dalam waktu ± 5 jam. Oleh karena bidang edar Bulan miring terhadap bidang edar Matahari maka dalam setahun ada tiga kemungkinan terjadi gerhana Bulan, yaitu gerhana Bulan penumbral, gerhana Bulan parsial (sebagian), dan gerhana Bulan umbral (total).
Dalam kasus prasasti Sucen I tersebut, gerhana Bulan yang terjadi adalah gerhana Bulan total. Kontak pertama dengan penumbra Bumi terjadi pada hari Selasa tanggal 20 Maret 843 pukul 0:17 waktu Jakarta (tetapi menurut kalender Saka masih terhitung hari Senin tanggal 19 Maret karena pergantian hari baru terjadi saat matahari terbit sekitar pukul 6 pagi). Pukul 02:22 Bulan sudah memasuki umbra Bumi yang menandai gerhana Bulan total, hingga mencapai puncaknya pada pukul 02:56. Gerhana Bulan total baru berakhir setelah Bulan meninggalkan umbra dan penumbra Bumi pada pukul 05:28 pagi. Seluruh proses tersebut dilalui dalam waktu 5 jam 11 menit.
Demikianlah peristiwa gerhana Bulan total dalam prasasti Sucen I, sebuah peristiwa langka yang disaksikan oleh si penulis prasasti bernama Dang Hyang Guru dan mengabadikannya pada sebuah payung perak yang hendak dipersembahkan kepada dewa di Sima, pada hari Senin tanggal 19 Maret 843. Gerhana Bulan total terakhir tahun ini (2007) terjadi pada tanggal 28 Agustus, dan dapat disaksikan di Indonesia khususnya wilayah Indonesia Bagian Timur (WIT). Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya (WIB) puncak gerhana Bulan total terjadi pada pukul 18:07. [TRIGANGGA]
Saya warga desa Sucen temanggung tertarik sekali dengan ulasan ini. Kiranya bisa disertakan gambar prasastinya agar banyak masyarakat yang tau bentuk prasastinya seperti apa. Terimakasih
BalasHapus