Ternyata menjadi dewa belum ada jaminan dapat hidup abadi. Para dewa masih membutuhkan amerta yaitu ‘air kehidupan’ yang dapat menjadikan siapa pun yang minum air tersebut “kagak ade matinya” alias hidup kekal. Jika mahluk kahyangan saja memerlukan amerta, apalagi mahluk dunia bawah yang dihuni oleh para daitya (raksasa), tentu punya keinginan yang sama, hidup kekal.
Sayangnya, air kehidupan itu tersembunyi di dasar samudra atau lautan dan dijaga oleh sejumlah naga. Untuk mengambilnya, Dewa Brahma memanggil para dewa di puncak Gunung Mahameru untuk ditugaskan mengaduk samudra agar dari pusatnya keluar amerta. Para raksasa, meskipun berperilaku buruk, licik dan jahat juga dilibatkan dalam proyek ‘pengadukan samudra’.
Diceritakan bahwa yang menjadi alat pengaduk adalah Gunung Mandara, diangkut para dewa ke tengah laut. Sebelum dicemplungkan ke dalam samudra Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura yang sangat besar untuk menjadi alas Gunung Mandara. Sedangkan Dewa Wasuki menjelma menjadi seekor ular yang amat panjang yang melilit Gunung Mandara tadi sebagai tali.
Bagian kepala ular dipegang para raksasa, sedangkan bagian ekornya oleh para dewa. Mereka silih berganti menarik “tali” itu sehingga Gunung Mandara berputar dan samudra pun teraduk. Setelah berbagai peristiwa terjadi dan berbagai benda keluar dari dalam samudra, maka akhirnya keluarlah Dhanwantari yaitu tabib kahyangan yang tangannya menjinjing sebuah guci berisi amerta yang mereka cari. Sialnya Dhanwantari keluar menuju ke arah kepala ular, tak ayal lagi guci amerta pun jatuh ke tangan para raksasa, dan mereka langsung kabur.
Merasa kecolongan, para dewa lalu berupaya merebut guci amerta itu dengan tipu muslihat. Untuk tujuan tersebut Dewa Brahma menjelma menjadi seorang bidadari yang amat cantik. Ia mengunjungi tempat para raksasa yang sedang berpesta pora merayakan kemenangan memperoleh amerta. Sang bidadari menari-nari, menggoda dan merayu para raksasa yang sedang bermabuk-mabukan. Begitu mereka lengah sang bidadari dengan sigap merebut guci amerta dari tangan para raksasa, dan terbang ke kahyangan.
Itulah cuplikan dari kisah amertamanthana atau samudramanthana, suatu kisah yang terdapat di dalam Adiparwa-Mahabharata. Itu adalah cerita yang diambil dari kitab versi India. Cerita ini juga dikenal di negara Asia Tenggara lainnya, seperti Kamboja (Khmer).
Ada lagi cerita “versi Indonesia”nya yang terdapat dalam kitab Tantu Panggelaran; inti ceritanya adalah tentang pemindahan Gunung Mahameru dari India ke pulau Jawa. Ceritanya, ketika itu pulau Jawa masih dalam keadaan belum tetap kedudukannya karena terombang-ambing oleh gelombang laut. Agar pulau Jawa tetap berada di tempatnya, Bhatara Guru memerintahkan para dewa dan raksasa memindahkan Gunung Mahameru dari India ke pulau Jawa sebagai alat pemberat. Dengan susah payah mereka berhasil memotong bagian atas Gunung Mahameru.
Tetapi kemudian timbul masalah untuk mengangkutnya ke pulau Jawa. Untuk itu Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura besar dan puncak Gunung Mahameru diletakkan di atas punggungnya. Dewa Brahma menjelma menjadi ular yang panjang dan melilit gunung itu sebagai tali. Dengan cara menarik “tali” itu, puncak Gunung Mahameru berhasil dibawa ke pulau Jawa.
Begitu sampai, mula-mula gunung itu diletakkan di bagian barat pulau, tetapi ternyata malah mencuat dan miring ke arah barat. Oleh karena itu mereka membawanya lagi menuju ke timur. Selama perjalanan bagian-bagian gunung itu berceceran dan menjadi deretan gunung-gunung di pulau Jawa, untuk akhirnya sisanya diletakkan di bagian timur dan menjadi Gunung Semeru sekarang.
Adegan cerita tersebut dapat dilihat pada sebuah batu relief tiga dimensi yang sekarang disimpan di Museum Nasional (no.inv. 383a/4385). Batu relief ini ditemukan di Sirahkencong, Wlingi, Blitar, Jawa Timur, dibuat sekitar abad ke-13 – 14 Masehi.
Secara fisik, batu relief ini menggambarkan seekor kura-kura berada di atas bantalan bunga teratai, menyangga replika gunung pada punggungnya. Gunung dililit oleh seekor ular yang kepalanya hilang sebagian. Di sebelah kiri dan kanan kepala ular tampak para raksasa dan dewa memegang tubuhnya. Di dekat puncak gunung terdapat relief tumbuhan dan binatang (kuda bersayap dan kancil). Puncaknya berupa empat bulatan dengan satu bulatan di tengah. Di tengah bulatan inilah terdapat lubang yang ternyata tembus sampai ke bawah, dan berakhir sampai ke belakang dekat ekor kura-kura. Diduga batu ini bagian dari pancuran yang mengalirkan air dari pegunungan ke bangunan suci atau pemandian. [TRIGANGGA]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar